Orde Baru menuding, lalu melarang novel Bumi Manusia dan tetralogi Pulau Buru Pramoedya Ananta Toer karena, konon, mengandung ajaran komunisme. Benarkah?
TANAH di pekuburan Karet masih hangat. Baru sepekan Pramoedya Ananta Toer meninggal. Di antara sekian banyak karyanya, novel tetralogi Pulau Buru adalah yang paling banyak dibicarakan orang. Di dalamnya terangkum Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Rumah Kaca, dan Jejak Langkah.
Novel Bumi Manusia langsung “menggebrak” ketika pertama kali diterbitkan pada 1980–setahun setelah Pramoedya Ananta Toer “pulang” dari Pulau Buru, sebuah gulag di Maluku untuk mengasingkan 250.000 orang yang dituduh terafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia sejak 1969. Sekretaris Jenderal Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Soetanto Wirjoprasonto yang memantiknya. Ia mengeluarkan surat edaran yang melarang semua lembaga di bawahnya–termasuk universitas–membaca dan memiliki novel itu. Alasannya seram: Bumi Manusia mengandung teori pertentangan kelas karena itu bisa merawankan stabilitas keamanan.
Api silang pendapat pun segera menyebar. Ramai-ramai orang mendukung dan menolak larangan itu. Adhy Asmara mendokumentasikannya dengan baik dalam buku Analisa Ringan Kemelut Bumi Manusia yang terbit pada 1981. Tapi dari sekian pro-kontra, detail kronologi, tak terdengar dan tertulis analisis yang lebih komprehensif tentang isi novel itu. Diskusi digelar dalam sembunyi berhari-hari, tapi hanya membahas soal boleh-tidaknya sebuah buku dilarang. Barangkali karena kubu waktu itu sangat jelas: siapa yang mengangguk buku-buku Pram mengandung paham komunisme, dia telah setuju pemberangusan kreativitas. Ada buku A. Teeuw dan Apsanti Djokosujatno yang khusus membahas novel tetralogi Buru, tapi keduanya tak menyinggung soal tudingan pemerintah itu.
Puncaknya pada 29 Mei 1980, Kejaksaan Agung resmi melarang empat novel Pram tersebut. Benarkah novel-novel itu mempromosikan teori pertentangan kelas yang menjadi ajaran komunisme?
Tetralogi menceritakan Jawa pada 1890-1920–sebuah masa yang rusuh oleh ide-ide besar di seluruh dunia. Rusia, terutama, ketika itu juga sedang kisruh menyongsong Revolusi Oktober 1917. Marxisme dipertentangkan dan diragukan penerapannya, yang memunculkan revisionisme, Bolsyewik, Mensyewik, dan teori dua tahap revolusi dari teoretikus Marxis: Georgi Plekhanov. Lenin dari Bolsyewik, meski menyerang dan meradang dari persembunyian, tulisan-tulisannya juga pada akhirnya makin mengukuhkan teori dari orang yang disebutnya oportunis itu, dengan lebih radikal.
Menurut Plekhanov, untuk menuju masyarakat komunis yang tanpa kelas dan penindasan, Rusia harus menempuh dua tahap revolusi. Tahap pertama adalah beralihnya feodalisme dari tangan Tsar menjadi tatanan kapitalisme. Petani harus diberi tanah untuk melahirkan para borjuis sehingga buruh jadi banyak. Para Marxis percaya kapitalisme akan lapuk dan membusuk dengan sendirinya lalu mendorong revolusi tahap kedua, yakni tampilnya kaum buruh dan petani–yang telah dibekali kemampuan revolusi oleh para intelektual dan aktivis partai–mengambil alih tatanan dari kelas borjuis yang menindas mereka.
Agaknya ada yang beririsan antara teori Plekhanov dengan apa yang terjadi dalam novel tetralogi Buru. Minke, tokoh utama empat novel itu, begitu sewot ketika dipanggil ayahnya harus merangkak dan merunduk. Bumi Manusia menceritakan perkenalan pertama Minke, seorang ningrat Jawa, dengan rasionalisme Eropa. Anak Bupati B ini bertekad mengubah tatanan feodalisme yang irasional itu. Ia mendapat dukungan penuh dari Nyai Ontosoroh, mertuanya.
Nyai yang dulunya bernama Sanikem itu tampil menyedot perhatian. Ia lihai mengurus pabrik gula peninggalan suaminya yang orang Belanda–karena itu ia punya buruh, tahu perkembangan ilmu pengetahuan, bijak dengan pesan moral, bahkan “membaca novel-novel Eropa sebelum berangkat tidur”. W.S. Rendra menjuluki Ontosoroh sebagai “prototipe ibu-ibu Menteng”. Pendeknya, Nyai adalah seorang borjuis baru. Feodalisme, begitu tesis Minke, bisa runtuh jika orang Indonesia bersentuhan dengan semangat Revolusi Prancis. Satu aforisme yang terkenal dari Bumi Manusia adalah, “Seorang terpelajar harus adil sudah sejak dalam pikiran.”
Tapi akhirnya Minke dan Ontosoroh kalah. Minke kehilangan istrinya–anak bungsu Nyai–yang sangat dipuja, Annelies Mellema, sementara Ontosoroh kehilangan pabrik gula dan seluruh harta juga harga diri sebagai pribumi karena dirampas anak sah suaminya. Pada Anak Semua Bangsa, Minke mulai meninggalkan Surabaya karena bersekolah dokter ke STOVIA di Betawi.
Pada dua jilid terakhir kebangkitan nasionalisme baru menemukan bentuknya. Minke menikah dua kali lagi. Yang pertama dengan gadis Cina, lalu dengan putri Maluku. Keduanya aktivis tulen. Minke sering ditinggal karena istrinya lebih banyak sibuk di organisasi. Dalam Jejak Langkah, Minke kian aktif di syarikat seraya terus menulis menyuarakan jerit lirih bangsa terjajah. Gerakan-gerakan politik bawah tanah jauh lebih hidup dibanding dua jilid pertama tetralogi.
Dalam Rumah Kaca, tatanan sosialis, sebagai peralihan menuju komunisme, mulai terbangun. Gerakan politik mulai surut. Peran Minke sudah banyak berkurang. Pencerita bahkan berganti ke mata Pangemanann–seorang intel Belanda yang khusus diutus mengamati segala gerak-gerik Minke. Hindia Belanda digambarkan terperangkap dalam rumah kaca yang segalanya bisa ditelisik dan dikendalikan penjajah.
Kondisi Hindia tentu lain dengan Rusia. Indonesia remuk dijajah Belanda (tapi karena itu pula Minke–kita–berkenalan dengan adat Eropa), sementara Rusia hancur karena berperang dengan Jerman. Pram juga tak menyinggung sama sekali soal perkembangan yang terjadi di Eropa Timur, kiblat komunisme itu. Komunisme yang ideal pun tak tercapai dalam keduanya, baik di Rusia maupun dalam tetralogi.
Di Rusia, komunisme gagal karena Lenin terlalu memaksakan revolusi ke dalam masyarakat yang belum siap. Kapitalisme pun dirindukan dan bangkit kembali 70 tahun kemudian. Di Indonesia dalam tetralogi, komunisme itu gagal karena belum adanya kesepahaman cita-cita bersama menghalau penjajah. “Kita ini bangsa yang kalah,” kata Pram, suatu ketika.
Mungkin terlalu jauh membandingkan Rusia dengan setting Hindia-Belanda dalam tetralogi. Barangkali juga, plot tetralogi adalah jalan ideal yang ditempuh Indonesia dalam pandangan Pram dan para tokoh nasionalis awal.
Dalam pelbagai wawancara dan tulisannya, Pram selalu menolak disebut komunis. “Saya penganut ideologi Pramisme,” katanya. Dari Rusia dia terpesona kepada realisme-sosialis, metode sastra yang diusung oleh penulis Marxis Rusia, Maxim Gorki. Dari Gorki pulalah semangat Pram terus bergelora merekonstruksi sejarah Nusantara dalam novel-novelnya. “Rakyat harus tahu sejarah,” itulah kalimat Gorki yang terus mengiang di telinga Pram dan menjadi rohnya dalam menulis.
Dengan atau tanpa komunisme dalam tetralogi, tak menyurutkan karya ini sebagai novel besar dan hebat, novel yang kompleks dan ajek dalam struktur, tertib, dan terarah, meski minim humor. Dengan atau tanpa komunisme pula, tak sepatutnya novel ini diberangus, justru wajib dibaca, terutama oleh orang muda, agar kita tahu sejarah pergerakan mendirikan Indonesia. “Saya menulis novel-novel ini untuk anak muda,” kata Pram, begitu selalu ia mengulang, sebelum jasadnya dibaringkan di Karet, 30 April silam.
*) Dimuat Koran Tempo, 7 Mei 2006
One thought on “KOMUNISME DI BUMI MANUSIA”