Bagaimana rasanya punya mobil? Saya belum pernah merasakannya. Barangkali karena itu saya tak kunjung bisa paham kenapa orang yang duduk di dalam besi bermerek Innova seharga Rp 200 juta itu menggilas sepeda motor saya. Di perempatan Kalibata-Mampang yang sempit saya tak menyangka itu terjadi di Senin pagi.
Senin selalu menjadi hari yang aneh. Kita sibuk di hari itu, tapi sibuk untuk dan oleh apa kita sering gagal menemukannya. Dan di jalanan, aura Senin itu selalu menjalar lewat raung klakson, jerit kanvas rem, atau deru campur debu. Tapi kita tidak tahu untuk apa kita buru-buru. Ah, ini Senin!
Dan Innova itu melaju pelan dari seberang kiri. Ia mobil ketiga di antrian setelah BMW dan entah jenis mobil apalagi. Dua mobil pertama mulus melewati deretan sepeda motor yang berjejer menunggu lampu hijau. Jalan dua jalur itu harus dibagi karena toh kita sama-sama bayar pajak. Tetapi Innova itu tidak.
Dia melaju mepet ke arah pengendara motor. Ban depannya merangsek ke arah sepeda motor yang pengendaranya terkedut menyelamat diri. Tiga motor berhasil dihajar. Orang di belakang tak peduli. Mungkin karena lampu keburu menyala hijau, atau karena “itu bukan motor saya yang kena.”
Setadinya saya menyangka jalanan memang terlalu sempit. Saya segera tahu bukan itu masalahnya. Sebelah kiri masih jauh lebih lebar untuk menghindari ban depan tak menyentuh knalpot motor-motor ini. BMW dan mobil entah apa lagi buktinya bisa lewat dengan mulus. Saya lihat si pengendara beraksi dengan telepon selulernya sambil mengintip kaca spion. Jelas ini perbuatan sangat disengaja.
Ia mungkin sudah jengkel dengan para pengendara motor, meskipun hari masih pagi dan rambut baru dicuci. Jalanan Jakarta punya hierarkinya sendiri. Kami, para pengendara sepeda yang renyek ini, kerap dibuat jengkel oleh ulah sopir-sopir metromini atau mikrolet yang berhenti dan belok tak memberi aba-aba. Kami dibenci oleh para sopir dan mobil pribadi yang terkena deru tanpa debu itu, karena sering menyalip dan menyelinap di sela-sela deretan mereka. Mobil tersenggol atau bocel tentu hanya akan menambah deru sedu sedan itu.
Rasanya dua tahun pakai sepeda mesin di Jakarta, saya pengendara yang baik. Tak pernah menyerobot lampu merah yang sedang menyala, merampas hak pejalan di trotoar, tak pernah melaju lebih dari 60 km/jam, menyalip dari kiri atau menyalakan lampu sen jika akan belok. Tapi kenapa Innova itu menggilas sepeda saya? Pada akhirnya saya adalah bagian dari jumlah yang renyek itu. Orang-orang yang berada di dalam kotak besi seharga ratusan juta itu tetap jengkel kepada jumlah yang sering mencemaskan mereka.
Jalanan sempit? Orang Jakarta yang 24 jam berpeluh dengan polusinya tentu sudah paham.
Seorang teman baru pulang dari Berlin. Dia harus menulis Jerman menjelang Piala Dunia setiap hari. Untuk itu ia membutuhkan peta agar tulisan bisa lebih runut ketika mengabarkan sebuah rute. Saya lihat peta itu isinya jalanan semua. Ruwet. Karena itu Berlin tidak macet, katanya. Jalan banyak, orangnya sedikit. Jakarta tentu saja sebaliknya. Siang hari Jakarta dihuni 13 juta kepala. 3-4 juta datang bersamaan setiap jam 7 pagi atau keluar berbarengan tiap jam 5 atau jam 19 dari dan ke daerah pinggiran Jakarta.
Pada akhirnya Jakarta sama dengan kota besar lainnya di dunia: serupa monster yang menelan para pedatang seperti tergambar dalam salah satu cerita Umar Kayam. Hanya lebih tak masuk akal. Menelan kita. Tanpa ampun. Saya harus paham, tidak boleh tidak, kenapa Innova itu menggilas tiga buah sepeda dengan dingin sambil bertelepon.