PANCASILA

Twitter
Visit Us
Follow Me
LinkedIn
Share
RSS
Follow by Email

Indonesia selalu berada dalam persimpangan jalan yang tak mudah. Di manakah Pancasila?

Saya sudah lama tak mendengar lima sila itu dibacakan dengan takjub, lewat upacara bendera setiap hari Senin. Kita mungkin sudah lama lupa 36 butir yang dulu hapal dalam kepala sebagai syarat kelulusan anggota Pramuka atau mata kuliah Kewiraan. Pancasila surut sejak delapan tahun yang lampau.

Pancasila lahir, 61 tahun yang lalu, dalam sebuah masa yang rusuh oleh ide-ide besar. Sosialisme, kapitalisme, ah, semuanya tak berhasil membuat dunia tentram dan nyaman, di manakah Pancasila kita itu? Bung Karno bilang Pancasila digali seperti ubi, bukan wahyu yang datang dari langit untuk kita, begitu saja. Pancasila adalah sebuah simpul dari sejarah panjang Nusantara.

Agaknya orang kini semakin tak percaya akan kesakralan itu. Di setiap sudut orang menyuarakan ide-ide yang lain berbekal agama dengan semangat yang lebih purba. Politik identitas yang dulu amat dihindari dan ditakuti kini hadir seutuh-utuhnya di depan kita dan jadi bahan obrolan yang sedap di warung kopi. Apakah ini buah dari desakralisasi Pancasila yang digelorakan secara sembunyi-sembunyi oleh kita yang kini kembali mengkhawatirkan Indonesia yang seragam?

Sebuah persimpangan yang tak mudah, bukan? Ketika Pancasila masih sakral, dulu, setiap suara yang berbeda dibungkam dengan senapan. Kini ketika Pancasila sudah kehilangan pamornya, setiap suara yang berbeda dikeroyok sampai bonyok. Kita bertengkar terus oleh setiap perbedaan yang tak mungkin dihapus.

Presiden Ahmadinejad dan Abdullah Badawi bilang Indonesia akan menjadi bangsa yang besar seandainya bersatu, seluruh dunia akan takut kepada Indonesia. Bayangkan, ada 17 ribu pulau yang terserak, ribuan bahasa, ratusan juta orang. Ah, betapa klisenya pernyataan ini. Tetapi ketika orang lain yang mengucapkannya, ada terasa yang mengiris di dalam dada kita. Seandainya kita bisa.

Barangkali karena akan menakutkan itu kita tak boleh bersatu. Kita akan bertengkar terus hingga turun Imam Mahdi. Sepanjang itukah? Mungkin. Kita sering putus asa mencintai Indonesia kita ini.

Seorang teman menghardik karena saya tak ikut menyanyi Indonesia Raya. Dia lalu bercerita bisa menangis ketika mendengar lagu ini dinyanyikan karena seorang pemain bulu tangkis menang dalam pertandingan Olimpiade di Yunani atau di Cina atau di mana pun di luar Indonesia. Saya mengangguk. Indonesia, sebagai kampung halaman, sebagai tanah tumpah darah, memang mengharukan jika kita terentang jarak. Itulah kenapa banyak orang yang berhasil menulis Indonesia jika sudah ada di luar. Di dalam sini, kita melihat benang kusut.

Itulah, mungkin, kenapa Iwan Fals sekarang tak bisa menulis lagu seperti dulu, semacam Celoteh Camar Tolol atau Tikus-tikus Kantor. Padahal persoalan pun toh sama juga. Album Manusia Setengah Dewa yang salah satunya untuk presiden liriknya sudah mengawang-awang. Jika menulis tentang cinta, temanya sudah basi. Barangkali, kata seseorang, Iwan sudah tak turun lapangan lagi. Hidupnya sudah enak, jarang “berkeliaran” lagi seperti dulu.

Indonesia sekarang semakin rumit, kian banyak persimpangan yang harus dipilih.

Author: Bagja Hidayat

Wartawan majalah Tempo sejak 2001. Mendirikan blog ini pada 2002, karena menulis seperti naik sepeda: tak perlu bakat melainkan latihan yang tekun dan terus menerus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Enjoy this blog? Please spread the word :)