Di mana batas-batas sepak bola? Tak ada.
Albert Camus pernah bilang dirinya berutang kepada sepak bola karena permainan ini mempertontonkan soal moral dan tanggung jawab–dua topik kajian utama filsafat.
Dalam Piala Dunia, tanggung jawab itu bertolak dari nasionalisme. Bagaimana Didier Drogba kecewa dan marah karena Pantai Gading keok 1-2 dari Argentina. Salah satu penyerang gol Argentina salah Hernan Crespo, seorang yang bersama Drogba bekerja sama membuat gol jika membela klub Chelsa. Dengan begitu moral bisa dibagi-bagi.
Sepak bola telah melintasi batas-batas geografi. Para pemain saling bertarung dengan kawan mereka di klub, tempat mereka merumput uang dan jadi kaya raya. Karena itu, mungkin, kejuaraan ini tak diberi nama. Hanya Piala Dunia. Piala apa dan dunia apa tak mendapat penjelasan yang cukup dari dua kata ini. Tetapi orang akan tahu jika dua kata ini disandingkan yang melintas bukan lagi pokok yang lain, tapi bola. Seolah inilah olahraga yang tak menuntut spesialisasi penyebutan. Ini olahraga milik kita semua.
Seorang wartawan Koran Tempo yang meliput ke Jerman kerepotan harus menjelaskan asal muasalnya ketika polisi heran ada orang Indonesia datang jauh-jauh ke Jerman hanya untuk meliput kejuaraan di mana negaranya tak ikut serta. Di manakah nasionalisme?
Barangkali hanya ada di sepatu para pemain yang berlaga di sana saja. Kita, di sini, toh bisa juga menjagokan Belanda atau Australia atau Amerika. Kita rela begadang hanya untuk melihat tim “kita” itu menekuk lawan-lawannya. Kita juga sudah tak peduli, bukan, kenapa Indonesia tak kunjung bisa mengirim sebelas orang ke setiap kejuaraan ini. Ah, pertanyaan yang sudah klise! Mungkin karena kita tak kenal dengan olahraga ini. Masih untung ada kumpeni. Tapi, begitulah, sepakbola di Indonesia datang bukan oleh keinginan orang bermain dan menjadi bugar. Tapi politik. PSSI itu adalah organisasi politik. Jadi jangan berharap ada Indonesia dalam Piala Dunia.
Permainan bola sepak, konon, milik Eropa dan Amerika Latin. Bagaimana bisa? Olahraga ini pertama kali lahir di Cina pada tahun 2 sebelum masehi. Eropa mencurinya puluhan abad kemudian. Eropa tahu banyak dunia Timur menyimpan cikal bakal tapi tak pernah digarap serius. Merekalah yang mengembangkannya hingga sepakbola bukan lagi soal kemenangan. Johan Cruyff yang menemukan total-football mengatakan, dalam sepakbola kemenangan tak lagi penting, yang utama adalah keindahan. Pendeknya sepakbola telah menjadi bagian dari seni.
Bukankah, olahraga secara harafiah juga adalah sebuah proses: mengolah raga, mengolah jiwa. Eropa terlalu banyak mencuri hal ihwal dan tampil gemilang dengan itu. Dari agama, ilmu pengetahuan, filsafat, budaya, semuanya diolah dari Timur. Kita saja yang tak menyadarinya, lalu terpesona dengan tindak-tanduk orang yang ada di sebelah barat itu.
Geografi, bukankah dengan begitu, menjadi penting? Awalnya ya. Lalu kapitalisme mengaburkannya, dalam pelbagai segi, kini dengan Internet. Jika negara adalah semacam proyek bersama, nasionalisme yang membungkusnya toh menjadi abstrak, hadir hanya dalam kepala setiap orang yang hidup dalam batas itu. Dalam sepakbola, “batas” itu kian hilang.
Siapa tahu, sepakbola di tahun 3000 tak lagi medan pertempuran tim antar negara, tapi tim yang disewa negara. Negara sebagai sebuah teritori hanya hadir sebagai nama. Kita akan menyaksikan generasi Drogba atau Crespo tampil atasnama Indonesia, suatu waktu, jika kita sudah punya uang banyak. Tentu saja ini impian dari seseorang yang seumur-umur hanya menjagokan tim dari Belanda. Mimpi toh boleh saja, bukan? Mimpi dari tidur yang sebentar ini.