Surat dari bapak, yang belum memahami pekerjaan anaknya.
Bapak berkirim surat. Tumben. Sudah lama ia tak berkabar lewat tulisan. Dulu ia rajin mengirim atau bertanya kabar lewat surat. Sekarang ada sandek, tapi ia belum mahir memencet tombol ponsel yang kecil dengan pandangan yang sudah lamur.
Tulisannya masih sama: tulisan sambung yang rapi. Khas orang-orang tua. Bentuk tulisannya habis-habisan saya tiru, sewaktu baru kenal a-b-c. Tapi yang muncul adalah tulisan cakar ayam. Saya, mungkin kita, tak lagi diajari menulis sambung seperti zaman sekolahnya dulu. Tapi bukan itu yang utama. Yang pokok adalah isi suratnya. Saya kutip yang penting-pentingnya saja. Tentu ini sudah disadur. Aslinya ia menulis dalam Sunda halus.
“Hari ini Bapak sedih. Untuk yang kesekian kali. Pak Lurah pidato berapi-api di balai desa soal proyek bendungan itu. Ia baru dapat duit subsidi dari kecamatan. Warga bergotong royong mengerjakan. Di sela pidatonya itu ia bercerita. Pak Lurah jengkel. Sejak proyek itu mulai berjalan hampir setiap hari ada datang orang ke rumah. Berbondong-bondong. Mereka mengaku wartawan. Entah surat kabar apa.
“Mereka bertanya ini-itu soal proyek bendungan. Pak Lurah sampai kewalahan meladeninya. Pertanyaan mereka aneh-aneh. Padahal, ini pembangunan yang wajar. Warga butuh air untuk mengairi sawah saat kemarau. Mereka malah bertanya berapa jatah untuk pamong desa. Yang menyebalkan, sebelum pulang mereka minta duit untuk ongkos. Bayangkan, ada 10 orang dalam satu rombongan yang datang pagi-siang-sore. Diberi 100 ribu tidak mau. Tidak cukup, kata mereka. Padahal ongkos ke kota tak menghabiskan 5.000 seorang. Mereka minta satu juta.
“Setelah sengit tak mau memberi, Pak Lurah luruh karena diancam. Para wartawan itu akan menulis bahwa Pak Lurah telah menilap uang proyek. Tentu saja Pak Lurah takut. Jika benar ditulis, Pak Lurah telah dituduh oleh perbuatan yang tak dilakukannya. Kamu pasti tahu, jika sudah dituduh si tertuduh harus menjelaskan dan membuktikan bahwa tidak benar tuduhan itu. Dan itu merepotkan. Serombongan petugas kecamatan akan datang. Dan mereka tentu tak mau pulang tanpa ongkos kedatangan. Efeknya akan berantai. Sementara proyek bendungan itu benar-benar membutuhkan duit.
“Maka Pak Lurah harus rela beberapa juta diberikan kepada mereka. Di ujung pidatonya dia berkata yang membuat Bapak sedih. ‘Saya berdoa, semoga tak ada keluarga dan kerabat saya yang menjadi wartawan’. Dada Bapak berdesir mendengar ucapan itu. Kalimat Pak Lurah seolah ditujukan pada Bapak. Ia seperti menuduh bahwa kamu juga berbuat seperti para wartawan itu.
“Bapak tahu kamu tidak melakukannya. Bukan begitu cara kerja wartawan, kan? Bukankah wartawan seharusnya menyampaikan kabar tentang sesuatu yang seharusnya diketahui umum. Bukan meminta-minta duit begitu. Wartawan juga kan seperti karyawan perusahaan biasa lainnya. Mereka digaji atas kerja mencari informasi itu.
“Sejak kamu memberitahu akan bekerja jadi wartawan, Bapak sudah mengingatkan ini pekerjaan yang aneh. Bapak sendiri tak kunjung mengerti bagaimana bekerja jadi wartawan. Apakah ada sekolah menjadi wartawan? Jam 23 kamu masih di kantor. Jam 8 sudah di kantor lagi. Kapan tidur? Kapan punya waktu untuk keluarga. Kapan punya waktu untuk diri sendiri. Toh, kerja rodi begitu kamu tetap miskin…
Desember 2004
Bapak, saya juga tak tahu bagaimana menjelaskan pekerjaan ini. Aneh memang. Ada banyak orang yang mau bekerja seperti itu. Dalam bursa kerja di Senayan beberapa bulan lalu pekerjaan yang paling diminati mahasiswa yang baru lulus adalah menjadi wartawan. Ajaib. Mungkin saya hanya menikmati. Dan ada perasaan senang jika tahu ada orang yang jadi “pinter” setelah membaca berita. Juga, ada kebanggaan setiap kali saya menolak amplop. Ah, ini mungkin hanya romantisme saja.
Saya juga tidak bisa merumuskan apa nama perasaan-perasaan aneh seperti ini. Barangkali, ini salah Bapak juga. Dulu, sebelum saya bisa membaca, kepala ini sudah penuh dengan kisah-kisah, dongeng-dongeng, legenda-legenda, yang Bapak ceritakan sebelum tidur. Sejak itu saya jadi suka cerita dan ingin membaginya dengan orang lain…
One thought on “SURAT DARI BAPAK”