Karena saya orang Sunda, yang acap dituduh cadel primordial, orang sering tak percaya akurasi pengucapan dan penulisan kata yang mengandung fonem F dan V. Setua ini masih susah jika mengucapkan Faperta. Lebih enak dan jelas jika menyebutnya lengkap: Fakultas Pertanian.
Bunyi F di awal dan P di tengah itu begitu menyiksa. Kalau terkontrol sering berhasil. Celakanya, kata itu acap meluncurkan sekenanya menjadi “Paferta”. Alhasil, orang sering tertawa. Biasanya, saya sadar jika cadel itu sudah ditertawakan. Ah, ini sih sudah genetis.
Tapi, cadel itu sering bikin kacau. Dan ternyata saya tak sendirian. Misalnya, ketika saya menulis Jalan Palatehan di kawasan Blok M itu. Redaktur saya tak percaya jika begitulah memang penulisan dan pengucapannya. Google, buku-buku alamat, menjadi pelampiasan untuk mengecek. Hasilnya sama. Ada yang pakai F dan ada yang pakai P. Yang memakai P ada 10 halaman, dan yang memakai F juga 10 halaman.
Manakah yang benar? Saya kukuh dengan P karena di kartu nama seseorang yang berkantor di sana tertulis Palatehan, bukan Falatehan. Jalan tengah diambil. Jalan itu tak ditulis demikian. Hanya dibubuhkan “kawasan Blok M” semata. Deal.
Sepekan kemudian, si Palatehan ini muncul lagi. Nama jalan ini harus ditulis, tak bisa diwakilkan dengan nama kawasan. Redaktur yang mempercayai memakai F mencantumkan nama Falatehan. Sampai lolos redaktur bahasa, lolos redaktur kreatif, sampai terbaca ke seluruh dunia. Saya mengejeknya bahwa itu lidah yang “terlalu Jawa”. Jadi, manakah yang benar? Saya sih tetep memakai Palatehan. Ini nama jalan yang diambil dari nama seorang panglima pendiri kota Jakarta. Entahlah, jika sang panglima pergi ke Demak orang di sana memanggilnya Falatehan.
Sejarah Palatehan sendiri masih kabur. Ada yang menyebut itu nama lain dari Fatahillah yang tak lain Sunan Gunung Djati. Tapi seorang doktor di Bandung memastikan jika kedua nama itu adalah dua orang yang berbeda. Ia meneliti sejarah Cirebon untuk promosi profesornya. Fatahillah seorang Turki yang bergabung dengan Kesultanan Demak mengusir Protugis. Sunan Gunung Djati atau Syarif Hidayatullah seorang ulama keturunan Nabi yang menyebarkan Islam di pesisir utara Jawa.
Kekaburan yang sampai pada pelafalan. Mungkin saya salah karena berpatokan hanya pada kartu nama yang si pembuatnya berpatokan pada nama jalan resmi. Dan nama-nama jalan resmi, di negeri kita yang tercinta ini, tak bisa begitu saja dipercaya. Jalan Latuharhari saja ditulis dengan dua model penulisan yang berbeda. Satu Latuharhari dan lainnya Latuharhary. Padahal ini jalan yang sama di daerah Menteng yang plangnya cuma terpisah 100 meter.
Baiklah. Tradisi kita memang bukan dari barang cetak. Kita dilahirkan dan hidup dari cerita-cerita. Apa bedanya Latuharhary dan Latuharhari jika diucapkan? Tapi, astagfirullah, di mana-mana memang dua nama ini dipakai orang. Johannes Latuharhary dan Johannes Latuharhari–mengacu pada seorang pejuang kemerdekaan dari Maluku yang meninggal pada 1959.
Kacau nama begini, anehnya, tak pernah dipersoalkan. Padahal mereka sudah menjadi nama publik yang dipakai menjadi nama gedung, nama jalan, dan seterusnya. Apakah kita memakai Soekarno atau Sukarno? Soeharto atau Suharto. Media asing konsisten memakai Suharto dan Sukarno. Media lokal konsisten pula memakai Soekarno dan Soeharto. Gadjah Mada atau Gajah Mada? Yang penting, barangkali, soal konsisten. Salah-benar toh siapa yang menentukan? Kebenaran itu relatif, Bung. Konsistenlah agar kita tak dicap plin-plan. Konsisten salah juga tak apa-apa.
Fonem P, F, dan V kian kacau jika menyangkut soal peluluhan. Aktif, misalnya. F di sana akan berubah menjadi V jika menjadi “aktivitas”. Tapi tak jarang juga yang kukuh memakai “aktifitas”. Yang lebih lucu verifikasi. Google mencatat kata ini dan kata kembarannya: ferivikasi sama banyaknya. Astaga. Apakah penulisnya orang Sunda? Mungkin. Tapi, saya kira, cadel F, P, dan V bukan monopoli orang Jawa Barat saja. Kasus Palatehan itu contohnya.