HOMO URBANUS

Twitter
Visit Us
Follow Me
LinkedIn
Share
RSS
Follow by Email

Homo sapiensakan tinggal cerita. Kita sedang bersalin wujud menjadi Homo urbanus. Kelak, demikianlah majalah The Economist edisi awal Mei lalu meramalkan, pada 2030 lebih dari 80 persen penghuni bumi ini akan menjadi orang kota. Jumlah itu berarti 4 miliar manusia yang nongkrong di bumi yang bundar ini.

Peta orang kota.

Kota, kata Raymond Williams, adalah sebuah lanskap–sebuah kampung–yang asing. Itulah kenapa kota berbeda dengan desa. Dan kota berarti gedung menjulang, mobil, gerak gegas, ketika waktu, ketika umur, dihargai dengan sejumlah uang. Perilaku orangnya akan seperti Joshua Karabish, Nyonya Elberhart, M, dan segerombol penghuni kisah Orang-orang Bloomington, yang berlaku aneh dan tak mengenal keinginan-keinginannya sendiri. Mereka akan menyampaikan pertanyaan purba tenang identitas ketika keterasingan kian menyergap.

Dan kota berarti hukum rimba. Sebab kota menuntut teknologi yang bisa meringkas jarak, memampatkan waktu. Kota membuat orang menjadi kaya sekaligus menciptakan orang miskin. Pada awal 1970 separuh penduduk Asia buta huruf. 30 tahun kemudian, berkurang tinggal 20 persen. Masa hidup orang juga kian lama karena ada pelbagai tips memanjangkan usia di internet, majalah keluarga, dan buku kesehatan. Tapi orang miskin juga terus tumbuh mengimbangi laju pertambahan penduduk.

Mereka kalah dalam rebutan sumberdaya alam. Sebab kota dengan teknologinya itu akan menguras hal ihwal perut bumi yang terbatas: jalan tol, mall, jembatan, pesawat, kereta api, mobil baru. Yang tidak kuat dan lihai dalam perebutan itu akan tersisih. Dan Asia dan Afrika diprediksi akan menampung jumlah terbesar manusia yang tak bertahan dalam pertempuran itu. Kita tetap menjadi Homo sapiens jenis Homo ruralus alias wong ndeso bin katro.

Tapi kota mungkin tak selalu identik dengan kaya. National Geographic melaporkan bahwa definisi kekayaan bisa berbeda antar wilayah. Kekayaan punya alamat dan tempat tinggal dan geografi. Orang Norwegia yang merasa dilahirkan dan memiliki gen sejahtera tak perlu ngoyo mengejar harta. Jam 4 kantor-kantor tutup, orang diberi keluasan berkumpul dengan keluarga, mengantar anak berenang atau nonton pertandingan sepakbola. Seorang pemenang lotre US$ 500 ribu membiarkan saja uangnya berbiak di rekening banknya. Sementara ia terus menanam kentang. Bagi petani ini, uang itu tak penting, “Saya tak bisa membayangkan jika saya berhenti bekerja.”

Geografi dan identitas kemakmuran inilah yang luput dari ramalan The Economist itu.

Homo sapiens akan tinggal cerita. Kita sedang bersalin wujud menjadi Homo urbanus. Kelak, demikianlah majalah The Economist edisi awal Mei lalu meramalkan, pada 2030 lebih dari 80 persen penghuni bumi ini akan menjadi orang kota. Jumlah itu berarti 4 miliar manusia yang nongkrong di bumi yang bundar ini.

Kota, kata Raymond Williams, adalah sebuah lanskap–sebuah kampung–yang asing. Itulah kenapa kota berbeda dengan desa. Dan kota berarti gedung menjulang, mobil, gerak gegas, ketika waktu, ketika umur, dihargai dengan sejumlah uang. Perilaku orangnya akan seperti Joshua Karabish, Nyonya Elberhart, M, dan segerombol penghuni kisah Orang-orang Bloomington, yang berlaku aneh dan tak mengenal keinginan-keinginannya sendiri. Mereka akan menyampaikan pertanyaan purba tenang identitas ketika keterasingan kian menyergap.

Dan kota berarti hukum rimba. Sebab kota menuntut teknologi yang bisa meringkas jarak, memampatkan waktu. Kota membuat orang menjadi kaya sekaligus menciptakan orang miskin. Pada awal 1970 separuh penduduk Asia buta huruf. 30 tahun kemudian, berkurang tinggal 20 persen. Masa hidup orang juga kian lama karena ada pelbagai tips memanjangkan usia di internet, majalah keluarga, dan buku kesehatan. Tapi orang miskin juga terus tumbuh mengimbangi laju pertambahan penduduk.

Mereka kalah dalam rebutan sumberdaya alam. Sebab kota dengan teknologinya itu akan menguras hal ihwal perut bumi yang terbatas: jalan tol, mall, jembatan, pesawat, kereta api, mobil baru. Yang tidak kuat dan lihai dalam perebutan itu akan tersisih. Dan Asia dan Afrika diprediksi akan menampung jumlah terbesar manusia yang tak bertahan dalam pertempuran itu. Kita tetap menjadi Homo sapiens jenis Homo ruralus alias wong ndeso bin katro.

Tapi kota mungkin tak selalu identik dengan kaya. National Geographic melaporkan bahwa definisi kekayaan bisa berbeda antar wilayah. Kekayaan punya alamat dan tempat tinggal dan geografi. Orang Norwegia yang merasa dilahirkan dan memiliki gen sejahtera tak perlu ngoyo mengejar harta. Jam 4 kantor-kantor tutup, orang diberi keluasan berkumpul dengan keluarga, mengantar anak berenang atau nonton pertandingan sepakbola. Seorang pemenang lotre US$ 500 ribu membiarkan saja uangnya berbiak di rekening banknya. Sementara ia terus menanam kentang. Bagi petani ini, uang itu tak penting, “Saya tak bisa membayangkan jika saya berhenti bekerja.”

Geografi dan identitas kemakmuran inilah yang luput dari ramalan The Economist itu.

Author: Bagja Hidayat

Wartawan majalah Tempo sejak 2001. Mendirikan blog ini pada 2002, karena menulis seperti naik sepeda: tak perlu bakat melainkan latihan yang tekun dan terus menerus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Enjoy this blog? Please spread the word :)