Kali ini cerita soal salat Jumat. Tentu saja di sekitar Jakarta, masjid langganan saya ibadah mingguan itu.
Di masjid ini, jamaahnya selalu penuh. Warga sekitar dan pekerja kantoran di sekelilingnya. Masjid ini pun letaknya menempel dengan sebuah kantor mentereng yang halamannya luas tempat parkir mobil-mobil mewah dan desainnya modern: sebagian besar berdinding kaca.
Tokoh utamanya tentu saja salah satu makmum salat di sini. Dia selalu datang setiap kali khotib sudah setengah jalan memberikan kutbah. Saat masuk arena salat itu, ia akan mencari sajadah yang sudah dibentangkan oleh ajudan, seorang tinggi-besar dengan safari hitam plus emblem marinir menancap di kerah bajunya.
Karena ritual salat hampir rampung, tempat duduk pun sudah hampir penuh. Jika orang lain menunggu kutbah dengan berdiri di pinggir-pinggir tenda karena tak kebagian tempat, tidak begitu dengan tokoh kita ini. Si tinggi-besar itu akan membeslah orang yang duduk di tempat biasa sajadah itu dibentangkan, yaitu di saf belakang, kolom dua, teras masjid ini. Orang yang dibeslah biasanya sudah menunduk karena ngantuk, sebab dia sudah datang sebelum adzan dikumandangkan. Dia tergopoh-gopoh dalam kantuk meloncat ke saf depan kendati di sana sudah tak kebagian tempat lagi.
Selang dua-tiga menit sejak sajadah dibentangkan, tokoh kita datang. Ia mungkin seorang bos di kantor mentereng itu. Sebab, sejak kedatangannya semua orang sibuk. Beberapa orang yang mungkin karyawannya akan mengangguk, berhenti mencari tempat duduk, lalu penjaga sepatu dan sandal dengan sigap menyongsong sandal jepit tokoh kita ini dan menempatkannya di rak paling atas.
Tokoh kita ini salat sunah dengan kecepatan superkilat. Menguap, mengusap-usap rambut, menarik-narik jari kaki, manggut-manggut (mungkin) mendengarkan khotib yang berceramah menyitir ayat Quran tentang kedudukan manusia yang sama di hadapan Tuhan, kecuali takwanya. Tentang kutbah yang itu-itu saja, tentang iman yang ngawang-ngawang.
Iqamat pun datang. Kami sembahyang bersama. Tokoh kita ini akan meninggalkan sajadah begitu saja, tanpa melipat atau membawanya, sebelum imam membacakan doa penutup. Si tinggi-besar safari hitam itulah yang akan merapikan sajadah itu. Kali lain seseorang yang lain, mungkin jongos di kantor itu.
Begitulah. Di masjid pun manusia merasa diri mereka sendiri tidak sama satu dengan yang lain.