Banyak orang yang salah kaprah memahami pekerjaan wartawan. Kenapa?
SERING saya kesulitan menjawab jika ditanya tentang pekerjaan wartawan. Sebab wartawan adalah profesi yang simpel, pekerjaannya, ya, menyajikan berita di medianya. Sama saja dengan pengacara yang pekerjaannya memberikan perspektif fakta dari terdakwa yang dibelanya, meskipun sekarang kok lebih terlihat sebagai makelar kasus belaka.
Biasanya, pertanyaan semacam itu tak berhenti. Pertanyaan akan berlanjut pada apa yang ditulis, bagaimana menulis, dan dengan cara apa mengumpulkan bahan tulisan.
Orang-orang yang bertanya itu sesungguhnya tak jauh-jauh dari jenis pekerjaan yang ditanyakan mereka itu: mereka setiap pagi membaca koran. Kadang-kadang mereka percaya dengan apa yang dibaca, sering kali ragu. Saya bersyukur di kelilingi oleh orang-orang tua yang tak mengerti pekerjaan anak dan keponakannya ini. Mereka masih heran kenapa saya yang sekolah bukan dari jurnalistik bisa menjadi wartawan. “Kapan belajar cara liputan?”
Saya jadi bersyukur karena pekerjaan ini selalu menjadi bahan obrolan, terutama karena mereka selalu punya pertanyaan dari setiap jawaban yang saya berikan. Saya tidak tahu apakah itu karena mereka memang tak bisa mengerti, atau saya terlalu goblok menjawabnya.
Mereka juga sering heran, kenapa saya banyak tahu tentang gosip politik terbaru, hubungan-hubungan seorang aktor berita dengan aktor-aktor lainnya yang tampak tak bersinggungan. “Kenapa ceritamu itu tak kau tulis di majalahmu?” Kalau sudah begini, saya juga ikut heran kenapa mereka heran dan tidak tahu dan menganggap saya tahu segala hal. Sebab, apa yang saya ceritakan itu sudah tercetak semua di koran dan majalah tempat saya bekerja.
Bacaan mereka mungkin terbatas. Mereka menyerap sebagian besar berita dari layar televisi, yang hanya muncul beberapa detik. Tak seperti di koran atau majalah yang menyajikan berita lengkap dan tuntas atau bersambungan, lengkap dengan latar belakang dan konteksnya. Para pengelola televisi tentu tak akan menurunkan berita jika mereka tak punya gambarnya. Jadinya, begitulah, para pemirsa pun mengunnyah berita hanya sepotong-sepotong.
Pertanyaan yang sering mampir adalah “Apakah sekarang sudah di kantor?” Maksudnya, tentu, tidak ke lapangan lagi, mewawancarai narasumber, mengejar koruptor. Ini pertanyaan tersulit. Sebab, pekerjaan ini sesungguhnya tak mengenal kantor. Pekerjaan wartawan, ya, meliput lalu menyajikan beritanya. Seorang pemimpin redaksi sekalipun tetap punya kewajiban liputan. Sebab pada dasarnya setiap wartawan adalah reporter. Ia akan berhenti menjadi wartawan jika tak lagi melakukan reportase. Redaktur, redaktur pelaksana, redaktur eksekutif, pemimpin redaksi, hanyalah jenjang jabatan untuk memudahkan koordinasi. Pekerjaan utama mereka tetap reporter: mereportase atau melaporkan peristiwa dengan wawancara untuk medianya.
Biasanya, untuk menjawab pertanyaan sulit karena butuh kalimat panjang itu, saya menjawab gampangnya saja. “Begitulah.”
Saya pernah menjawab bahwa wartawan itu pekerjaan seumur hidup. Jabatan hanya sebuah jenjang saja untuk memudahkan bagi-bagi pekerjaan. Jawaban ini tak lagi saya pakai karena akan melahirkan puluhan anak pertanyaan yang tak selesai-selesai. Misalnya, saya sampai bercerita bagaimana wartawan di luar negeri masih “turun” ke “lapangan” meliput sebuah peristiwa, padahal mereka sudah berusia 50 tahun.
Apa boleh buat. Profesi ini mungkin masih aneh di zaman internet ini–bahkan bagi wartawannya sendiri. Wartawan sering dianggap sebuah profesi untuk mengejar karier. Teman saya, ketika masih menjadi calon reporter, bahkan bercita-cita, kelak, ingin menjadi “wartawan senior”. Padahal, “jabatan” ini tergapai dengan sendirinya karena hanya ditentukan oleh umur belaka. Teman saya itu menganggap “wartawan senior” adalah puncak karier menjadi jurnalis. Kini, ia tertawa jika disinggung soal cita-citanya itu, dan menjadi bahan ledekan dalam obrol-obrolan di sela tenggat.