Sebuah buku yang menceritakan kegilaan orang pada tanaman. Tentang para pencuri anggrek
PENDIRI Japan Airlines menyerahkan seluruh saham perusahaan kepada istrinya, menanggalkan segala urusan bisnis yang ia sebut sebagai “dunia semu”. Ia pensiun dan terbang ke Malaysia dengan memboyong 200 ribu batang anggrek.
Seorang botanis dari Jepang lupa nama istri dan anak-anaknya karena sering memanggil mereka dengan nama jenis-jenis anggrek. Sejak abad 13 orang rela mati untuk mendapat anggrek yang paling langka di hutan-hutan tropis yang belum terjamah. Dan John Laroche mengejutkan Florida, Amerika Serikat, yang tenang setelah tertangkap mencuri anggrek dari hutan lindung.
Berita pengadilannya menyembul di sudut halaman koran lokal, suatu ketika di tahun 1997. Berita itulah yang mendorong Susan Orlean, 51 tahun, seorang wartawati The New Yorker, menguntitnya lalu membuat sebuah cerita yang menyentuh tentang gairah orang kepada anggrek.
Susan ternyata tak berhenti hanya menulis beberapa halaman untuk majalah itu. Ia terus tergoda, ia terus terbujuk, oleh hidup Laroche yang bergumul di “dunia anggrek”. Susan sendiri lama-lama kecanduan. Ia menyimpulkan, gairah kepada anggrek, juga gairah-gairah lain kepada benda-benda, melahirkan obsesi “yang merasuk seperti candu kokain.” Sering kali gairah itu tak masuk akal.
Susan pun menghasilkan beratus halaman tentang anggrek. Ia melacak kegairahan orang pada bunga ini hingga yang paling purba. Menuliskan proses pembuahan, jenis-jenis, buku-buku yang mengupas anggrek—dari yang filosofis hingga yang praktis, semisal tentang bagaimana merawat kembang ini hingga menghasilkan buah yang eksotis.
Perkenalannya dengan Laroche membuatnya bertemu dengan puluhan orang lain yang sama sintingnya. Laroche seorang laki-laki tiga puluh enam tahun yang punya kesenangan kepada sesuatu secepat ia menghabiskan batang rokoknya. Tapi kepada anggrek, ia seperti kerasukan. Kepada media pertamanan, misalnya, ia menulis sebuah artikel berjudul “Siapkah Anda Mati demi Tanaman Anda?”
Moodnya cepat berganti. Ia sering marah-marah untuk sesuatu yang tak dilakukan Susan. Ketika buku ini terbit dan mendapat puja-puji, Laroche berkata, “Seandainya kau tulis beberapa buku lagi, kau akan jadi penulis yang lumayan.” Asem.
Laroche mencuri anggrek bukan sekadar ingin memiliki bunga mirip testis itu, tapi punya target mengejutkan parlemen hingga sebuah undang-undang dirombak karena ulahnya. Ada Lee Moore dan Chady, suami-istri pemburu anggrek di hutan-hutan tropis Amazon dan kolektor benda kuno yang menganggap diri mereka lebih hebat ketimbang Indiana Jones.
Ada Orchid Fuch yang digilai perempuan karena kerap memenangi lomba anggrek tingkat internasional. Juga para jagawana yang memberi Susan informasi anggrek hantu yang kemudian menguak sebuah kasus penipuan tanah yang melibatkan banyak makelar dan pengembang besar.
Pendeknya, ini sebuah laporan jurnalistik yang disajikan dengan gaya novel—bentuk reportase yang dengan janggal disebut “jurnalisme-sastra”. Karena itu, bukan Laroche yang menjadi tokoh utama buku ini, kendati ia mengisi hampir seluruh cerita. Tapi Susan Orleans sendiri. Dia menceritakan kisahnya sendiri yang terpesona oleh keterpesonaan orang pada anggrek. Semacam otobiografi satu sisi.
Karena kisahnya nyata dan mengikuti apa yang terjadi, tentu saja tak ada kejadian yang mengejutkan. Semua peristiwa linier, semacam garis lurus yang tampak jelas, logis. Berbeda dengan fiksi di mana cerita, dialog, dan kejadian-kejadiannya dirancang sedemikian rupa oleh penulisnya, dengan muatan makna dan drama di sana-sini.
Susan menunjukkan dirinya betul-betul seorang wartawan, yang menggali fakta dan bersetia kepadanya. “Menurutku, kehidupan nyata lebih menarik,” katanya kepada seorang pewawancara anonim yang dimuat di akhir buku ini. Kalimatnya mengingatkan pada kredo Nikolai Chernisevsky, penulis Rusia abad 19, yang menganggap realitas jauh lebih indah ketimbang seni. Susan mungkin tak seektrim itu. Ia, seperti pengakuannya, hanya belum berniat menulis novel.
Ini berbeda dengan filmnya, Adaptation (2002), yang dibuat Charlie Kaufman. Kaufman hanya mengail ide dari cerita Susan. Ia menceritakan dirinya sendiri (diperankan Nicholas Cage) yang berusaha mengadaptasi buku Susan.
Dalam susah sungguh upayanya itu, ia bersintuhan dengan cerita dan tokoh-tokoh dalam buku ini: ada Susan (Meryl Streep), Laroche, para jagawana. Cara adaptasi yang sungguh brilian. Kaufman kemudian bertemu dengan Laroche yang marah dan menembaknya karena masuk rumah mengendap-endap. Ada banyak peristiwa mengejutkan: romantisme dan konflik psikologis.
Dalam film, Susan dan Laroche digambarkan punya hubungan intim. Pada novel hubungan itu tak terlalu terasa, karena Susan berusaha mementahkan anggapan itu dengan komentar-komentarnya. Misalnya, ia hanya menukil selintas soal perceraian Laroche dengan istrinya sehabis kecelakaan mobil yang parah hingga semua giginya rontok, yang di film digambarkan mengharukan.
Susan terasa berusaha tetap fokus pada ulasannya soal anggrek dan kelakuan orang-orangnya. Keberadaan anggrek hantu yang dicari pencinta anggrek sedunia ia pelihara untuk membangun misteri.
Karena itu aspek psikologis kurang tergarap. Cuplikan kisah dari buku-buku lain tentang anatomi dan kisah-kisah gairah orang pada anggrek terlalu dominan dan cenderung membosankan. Tapi, mungkin karena itu tadi, kamera bersumber dari mata dan kepala Susan sendiri.
Judul : Pencuri Anggrek
Judul Asli : The Orchid Thief
Penulis : Susan Orlean
Penerjemah : Arief Ash Shiddiq
Penerbit : Banana Publisher
Edisi : Juni 2007
Tebal : 367 halaman
One thought on “PARA PENCURI ANGGREK”