ANAK-ANAK YANG KEHILANGAN SUNGAI

Twitter
Visit Us
Follow Me
LinkedIn
Share
RSS
Follow by Email

 

 

Anak-anak yang kehilangan sungai, mereka harus menempuh jalan jauh agar bisa berenang. Mereka harus berdandan, menyiapkan ongkos, membekali diri dengan sabun dan handuk. Mereka berdesakan di mobil bak terbuka, ke kolam renang di kecamatan. Ketika sungai-sungai kering orang-orang membangun kolam dengan tiket dan satpam.

Anak-anak yang kehilangan sungai, mereka tak lagi bebas beradu tangkas menjajal seberapa dalam palung dan oplak. Di kolam buatan itu mereka menemui kedalaman sungai yang sama dan terukur. Mereka tak belajar bagaimana menjelajah. Mereka kehilangan permainan.

Tapi barangkali ini sebuah romantisme. Ketika saya kecil, sungai adalah arena menjajal nyali. Kami—anak-anak seumuran 6-10 tahun—harus mencuri kesempatan agar bisa berenang di sungai Cisanggarung yang lebar dan dalam. Kami harus sembunyi dari mata para tetangga yang bisa melaporkan keasyikan kami kepada orang-orang tua. Sebab, kami akan kena setrap. Orang-orang tua takut jika anak-anak berenang di sungai itu kami akan tenggelam atau dimakan buaya.

Konon, di sungai itu banyak sekali buaya. Sampai sekarang saya tidak tahu benarkah buaya bersarang di sana. Buaya mungkin hanya mitos yang diciptakan untuk menakut-nakuti anak-anak agar tak berenang ke sana. Sekali saya pernah melihat di jurang di pinggir kali itu ada lubang dalam dan gelap, ketika air surut. Orang-orang menyebut itulah rumah buaya yang dulu-dulu sering memakan anak-anak yang mandi di sungai sehabis pulang sekolah atau sembari menggembala kambing.

Kini sungai itu sudah tak ada lagi. Kering dan gersang. Tak ada tukang perahu yang menyeberangkan orang-orang kampung kami yang akan pergi ke pasar. Untuk menuju jalan besar di mana angkutan melintas, orang punya dua jalan: ke sungai itu atau ke jembatan bikinan Belanda. Tapi ke jembatan jalannya memutar. Harus pakai ojek untuk mencapainya yang ongkosnya lebih mahal dari ongkos perahu. Sungai itu semacam jalan pintas.

Kini hampir setiap rumah punya sepeda motor. Satu atau dua. Baru atau lama. Kreditan atau kontan. Motor sudah menjadi keseharian yang dulu masih menjadi barang mewah. Dulu, hanya orang-orang kaya—yang punya sawah dan ternak banyak—yang punya sepeda motor. Orang umum paling banter sepeda angin. Tapi bukan karena kehadiran sepeda motor perahu tak ada lagi.

Kematian sungai itulah yang jadi pokok penyebab. Air memang mulai menghilang dari kampung kami ini. Selama puasa dan lebaran ini beberapa rumah kekurangan air—satu hal yang dulu tak pernah terjadi. Mungkin karena pemanasan global yang diributkan orang itu. Karena hutan-hutan yang dulu tak pernah dijamah karena ditunggu wangatua dan dedemit sudah punah, gersang, dan boyak.

Tapi sebelum itu, sungai kami hilang ketika di kampung seberang ada orang Jakarta yang membangun pabrik aspal, sekitar 15 tahun lalu. Orde Baru yang sedang membangun infrastruktur hingga pelosok membutuhkan pengusaha macam ini. Apalagi jika musim pemilu tiba. Jika satu kampung bisa mencoblos 100 persen Golkar, juru kampanye menjanjikan jalan aspal hingga masuk gang. Demikianlah, sungai kami hilang karena batu-batu itu diangkut untuk digiling.

Para petani tak lagi ke sawah dan ladang. Mereka menyelam di sungai untuk menggali batu-batu kali yang liat untuk dijual ke pabrik itu. Janda-janda baru tak perlu jauh-jauh ke Kramat Tunggak, mereka menjadi langganan orang-orang pabrik. Dan batu-batu itu pun menghilang, pasir lenyap, sungai jadi dangkal. Yang timbul adalah cadas yang licin. Palung-palung menghilang, oplak untuk memancing tumpas. Anak-anak tak lagi punya mainan selepas pulang sekolah, atau memandikan ternak.

Kini mereka melakukan apa yang dilakukan anak-anak kota: main playstation, berenang di kolam renang proslen, ngebut dengan sepeda motor, tak ada lagi yang main gundu atau gasing. Selepas magrib kampung sepi, anak-anak tidur cepat. Mereka tak lagi mengangeni bulan sambil mendengarkan orang-orang tua bercerita tentang legenda dan takhayul.

Setiap lebaran, selalu saya merasa kehilangan sesuatu dari kampung ini. Suasananya, orang-orangnya, bau asap sampahnya. Sebelas tahun terlalu cepat membuat kampung ini berubah dan asing.

Author: Bagja Hidayat

Wartawan majalah Tempo sejak 2001. Mendirikan blog ini pada 2002, karena menulis seperti naik sepeda: tak perlu bakat melainkan latihan yang tekun dan terus menerus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Enjoy this blog? Please spread the word :)