Tentu saja, saya tidak mengerti. Dengan bahasa Inggris yang cekak, ia berusaha menjelaskan semampunya. Tetap saja saya tak mengerti. Pembeli lain, sementara itu, mengantri akan bayar. Dengan perasaan tak enak saya memintanya kembali ke mejanya. Ia meminta maaf karena tak bisa bikin saya mengerti. Saya juga minta maaf karena menyela pekerjaannya.
Urusan rupanya tak berhenti di situ. Setelah pembelinya selesai membayar, ia kembali menghampiri saya yang masih melihat-lihat barang-barang di toko. Ia kembali menjelaskan tanaman itu. Aduh, dua kali menjelaskan, dua kali pula saya tak mudeng. Ia kesulitan mencari terjemahan nama (mungkin sejenis ubi) dalam Inggris. Saya menyudahi dengan pura-pura mengerti. Ia meminta maaf jika penjelasannya tak memuaskan. Saya mengangguk sekali, dia dua kali.
Sampai di rumah, saya tahu jawabannya. Dalam buku Polite Fiction–sebuah buku kecil yang menarik tentang bertolak-belakangnya budaya Amerika dan Jepang dan menjadi bacaan wajib kelas persilangan kebudayaan–Nancy Sakamoto menjelaskan bagaimana orang Jepang menjawab pertanyaan. Setiap orang Jepang, kata Nancy, akan merasa bertanggung jawab jika ditanya. Ia akan menjelaskan semampunya, tak peduli ia pun sedang sibuk dengan urusannya.

Dalam buku itu, seorang Amerika teman Nancy berkunjung ke Jepang dan menyewa guide untuk pelesiran. Di sebuah kuil, sambil melihat-lihat, si Amerika itu iseng bertanya: berapa tinggi pohon plam itu? Celaka, si pemandu tak memegang informasi itu. Ia pun minta maaf. Esoknya, ketika si Amerika sudah punya urusan lain, si guide menelepon. “Saya baru saja dapat informasi tinggi pohon yang anda tanya kemarin….” Astaga.
Istri saya mengalami juga. Sewaktu ia baru datang ke Kyoto, di kampus Ritsumeikan University ia akan menyalin satu tulisan. Mesin foto copy ternyata macet. Ia bertanya kepada temannya yang sedang makan siang, kenapa mesin ini tak berfungsi. Si teman, seorang mahasiswa muda, tanpa disangka, bangkit dan meninggalkan makanannya. Ia berniat mengopikan kertas istri saya itu. Mereka sampai tarik-tarikkan kertas karena istri saya tak mau mengganggu makan siangnya, sementara teman Jepang keukeuh membantu menyalin di mesin lain yang tak macet.
Di sini, orang bertanya disangka minta bantuan. Karena dari kecil serba mandiri, orang Jepang melakukan segala hal sendiri. Mereka tak akan bertanya jika masih bisa melakukan segala sesuatu sendiri. Ketika ada orang lain minta bantuan, mereka menyangka orang itu sudah tak sanggup melakukannya sendiri, untuk hal remeh sekalipun. Dan orang Jepang, kata Nancy, menganggap orang lain itu “superior”.
Tapi, seorang teman membisikkan, orang Jepang diam-diam menganggap diri mereka “ras” terbaik. Dan, ini jeleknya, kadang lain di mulut lain pula di hati, juga terkesan tak peduli.
Di stasiun Kyoto, misalnya, saya lihat seorang nenek bongkok kesulitan naik tangga dengan tas di tangan kanan dan tongkat di tangan kiri. Ratusan orang yang menyalip si nenek itu seolah tak peduli di sana ada manusia sedang kepayahan. Saya geregetan ingin membantu membawakan tasnya. Tapi, bantuan saya mungkin akan ia tolak, atau saya malah akan dianggap aneh karena menolong seorang nenek di tangga stasiun. Salah-salah, kata istri saya, saya akan dianggap hendak melakukan kejahatan. Wah…