Banyak berita penyelewengan ditulis tapi penyelewengan jalan terus. Apa yang musti dilakukan?
“Untuk apa sebetulnya kita susah-susah menulis ini,” seorang kawan menyerbu dengan pertanyaan itu sambil membolak-balik sekumpulan tulisan investigatif.
Ia, mungkin, sejenis banyak kawan Anda juga yang geram dengan keadaan. Setiap hari ia membaca pelbagai berita penangkapan koruptor, setiap pekan ada saja maling yang dicokok, setiap bulan sebuah tulisan investigatif–yang mengulik hingga tuntas sebuah kasus–muncul, toh makin banyak saja orang yang korupsi. Buktinya, berita-berita semacam itu kian meruyak.
Ia pernah menjadi bagian dari sebuah tim investigasi sebuah majalah. Ia tahu betapa tak mudahnya menulis kasus-kasus dengan dalam. Perlu energi ekstra dibanding liputan biasa. Butuh kejelian, data yang cukup, kerja lebih keras, dan kadang-kadang nekad. Lalu keadaan pun tak berubah: korupsi dan penyelewengan, juga persekongkolan, kian menggila.
Saya tak bisa menjawab, meski saya merasakan apa yang ia rasakan. Mungkin karena sepenanggungan itu, saya tak bisa menjawab atau sekadar menanggapi. Tadinya, saya ingin menimpali begini, pernyataan yang sering diulang-ulang oleh para ahli jurnalistik: bahwa media tak bertanggung jawab terhadap perubahan dari kebobrokan yang mereka tulis. Perubahan itu tanggung jawab mereka yang hidup dari pajak kita, para pejabat itu. Wartawan hanya membuka kebobrokan itu, tak perlu ikut repot memikirkan dan mencari solusinya.
Saya merasa, kini, jawaban seperti itu sama frustrasinya dengan orang-orang seperti teman saya itu. Kita menulis, lalu menunggu perubahan. Kita menulis, lalu pasrah, dan tahu tulisan semacam itu akan segera dilupakan. Barangkali jawaban frutrasi semacam itu hanya bisa dilontrakan di “zaman normal”, di sebuah peradaban, bukan zaman ndableg seperti sekarang ini.
Sebab di Amerika sono, ketika wartawan Washington Post menulis kebobrokan layanan rumah sakit tentara (lalu menggondol Pulitzer yang prestisius itu), semua jadi sibuk. Kepala rumah sakit diganti, semua perawat disingkirkan, presiden memerintahkan–secara terbuka–reformasi di rumah sakit itu.
Saya baca laporan berita itu, ah, rasanya jauh lebih sederhana dibanding liputan-liputan wartawan di sini. Tulisan itu hanya “menemukan” penderitaan para tentara yang terluka di medan perang Irak atau Afganistan, lalu menyiarkannya. Di sini, laporan investigasi ditulis hingga ketemu “para tersangkanya” mereka yang bersekongkol menilap duit-duit kita, modal sosial kita untuk menikmati hidup lebih baik. Toh, keadaan tak berubah juga, termasuk pejabat-pejabatnya, termasuk maling-malingnya.
Tapi, agak muluk juga seorang wartawan bekerja mengharapkan perubahan semacam itu. Tugas kami memang cuma sebatas itu. Tak lebih. Meliput, menuliskan, lalu menyiarkan. Titik. Selesai sampai di sini. Sebab, kami tidak tahu adakah mereka yang punya kekuasaan itu membaca berita tentang mereka.
Mungkin membaca. Sebab, mereka ini kemudian ikut mengumpat keadaan juga, lalu berapi-api menyodorkan sebuah solusi. “Kuncinya, memang hukum harus ditegakkan,” kata seorang pejabat, yang lama hidup di luar negeri yang tertib dan punya sistem hukum yang rapi dan kuat, mencapai doktor dari universitas terkemuka, kemejanya licin, dan rambutnya mengkilap pomade.
Lalu ia bercerita soal ketertiban di negara yang pernah ia tinggali itu. Semuanya bagus, semuanya bikin iri, semuanya menawarkan surga-dunia. Ia pun minta dikutip untuk satu-dua pernyataan, beberapa solusi yang ia tawarkan, dua-tiga patah petuah dan luapan kejengkelan, lalu menyodorkan amplop. “Sekadar untuk bensin,” katanya.
Barangkali, ini sebuah cerita yang sudah jadi umum di sini. Tapi, saya kian tahu, kenapa teman saya itu begitu gusar.