THE X-File yang populer dan serial televisi bertahan bermusim-musim, ketika difilmkan kedua kali, bisa juga tergelincir dan tak menggigit lagi. Film The X-File, I Want to Believe, misalnya. Ia tergelincir justru dalam hal pokoknya: misteri. Film ini keropos di tulang punggungnya: suspense.
Kita tak pernah tahu kenapa seorang Rusia yang tak disebutkan namanya, bersama suami homonya, tiba-tiba muncul di rumah seorang agen FBI–adegan ini sekaligus menjadi pembuka film. Mereka hendak membunuh si agen yang langganan sebuah kolam renang dan punya golongan darah AB. Jauh sebelum membunuh si agen, mereka telah membunuh 30 perempuan lainnya, di Vancouver yang beku, pertengahan Maret 2008.
Untuk apa tubuh-tubuh perempuan itu selain dirajah tiap tungkainya lalu potongan tubuh itu dibenamkan di timbunan-timbunan salju di hutan-hutan yang sepi. Film ini sepenuhnya bercerita tentang si suami orang Rusia itu yang lengannya terpotong, yang mukanya kena cakar besi yang diayun si agen FBI itu. Kita tidak tahu apa yang melatari itu semua. Kita hanya disuguhi adegan bagaimana Fox Mulder (Duchovny), bekas agen FBI, dan Dana Scully (Gillian Anderson) yang dokter di sebuah rumah sakit Katolik, memburu penculik si agen itu.
Karena film langsung dibuka menampilkan wajah pelaku, misteri tak seru lagi. Kita sudah tahu siapa pembunuh si agen itu sejak awal. Film ini praktis hanya menyuguhkan jawaban: untuk apa perempuan-perempuan itu dibunuh? Jawabannya memang ada di akhir cerita: sebuah rumah sakit hewan menadah potongan-potongan tubuh manusia lalu mendagangkannya. Dan pasangan homo itu, karena sabetan cakar besi itu, ingin mengganti tubuh yang koyak dengan badan dan kepala perempuan yang berbeda. Semacam operasi Dokter Franskenstein. Tapi, apa pentingnya itu buat kita?
Penulis skenarionya barangkali ingin kita tergiring menuduh Pastor Joseph, yang tiba-tiba menelepon kantor FBI dan mengaku melihat si agen yang hilang itu. Pak Joe–pastor yang menyodom 37 putra altar dan tinggal sukarela di asrama pencandu seks kambuhan–mengaku mendapat penampakan dalam pikirannya. Ia memang bisa membuktikan beberapa penglihatan: potongan tangan, letak si agen dilumpuhkan, dan mayat seorang perempuan yang terkubur salju.
Mudah ditebak bahwa ia akan dijadikan tersangka sementara, buat kita. Benarkah kemampuan Joe datang dari alam gaib, bukan karena keterlibatannya dalam serangkaian pembunuhan itu. Scully yang selalu skeptis percaya dugaan ini. Mulder yang terobsesi mencari fenomena tak terpecahkan, dan pernah menangani perkara lewat bantuan cenayang, percaya bahwa Pastor Joe memang punya indra keenam. “Buat apa dia menciptakan kebohongan dengan skema serumit ini?” katanya, ketika Scully mulai menunjukkan keraguan.
Film ini tak menggigit karena tak lagi menawarkan hal-hal baru: kerumitan penyelidikan, logis, dengan tokoh yang tak diduga-duga. Itu semua tak ada atau tak terlalu menonjol. Jadinya, sebuah film sains-fiksi-misteri yang hambar. Ia tetap setia pada tema pokok kisah kriminal bahwa pembunuhan selalu punya sebab dan tak ada kejahatan yang sempurna.
Di sana-sini bahkan plot dan adegannya cenderung memaksa: mobil Mulder yang tak meledak kendati dijatuhkan dari tebing yang tinggi, Mulder yang ceroboh begitu saja masuk ke ruang operasi Frankenstein sambil menghunus kunci dongkrak, Scully yang tiba-tiba muncul ketika mata kapak hampir saja memenggal leher Mulder, juga pasangan homo si Rusia itu ternyata salah satu korban Pastur Joe.
Tapi ada yang lucu juga. Misalnya, ketika Mulder akan menelepon Scully, nomor dokter ini di ponselnya diberi nama Gillian. Halah! Dan yang konyol, tokoh-tokoh dalam film ini tak terlihat makan dan minum. Edan. Kecuali teman sekamar Joe yang terlihat sedang memasak daging, atau Joe yang merokok. Selebihnya, manusia seakan punya energi yang datang dari langit.