Biografi Putri Masako, perempuan cerdas yang terkurung Istana Jepang karena menikahi pangerannya.
PADA akhirnya hidup Putri Masako seperti diramalkan dan dikhawatirkan banyak orang: diplomat cemerlang yang terkurung “sangkar” istana Jepang. Ben Hills, wartawan The Australian di Tokyo, melalui buku Putri Masako ini, mengkonfirmasikan semua itu.
Hills menguar riwayat Masako sejak ia masih sekolah.
Dalam bagian epilog buku ini, setelah terbit dan dicekal pemerintah Jepang, setelah Hills berbicara dengan Duta Besar Jepang untuk Australia, wartawan ini memberitakan jika Masako mengalami depresi berat. Sebuah depresi yang juga menyerang mertuanya, Putri Asano.
Tapi ini kesimpulan yang sudah terbaca sejak awal, karena sudah jadi rahasia umum. Kehidupan kekaisaran yang terra incognita itu senantiasa jadi santapan empuk media Jepang dan non-Jepang. Dan Hills menulis buku ini dengan semangat membuktikan kebenaran cerita dan gosip-gosip di seputar kerajaan itu bahwa keluarga kaisar sesungguhnya tertekan dengan adat dan sopan santun kuno yang coba dan terus dipertahankan itu.
Sikap Ben Hills jelas: ia menulis untuk mengkritik. Karena itu gayanya menyerang. Fakta-fakta itu ia rangkai (dari wawancara, berita, gosip-gosip) menjadi sebuah cerita yang mengentak. Dengan gaya jurnalistik yang lugas, cerita Hills menelanjangi kekakuan protokoler kekaisaran. Dari segi informasi, sama sekali tak ada yang baru dari cerita-cerita itu. Hills tak bisa menembus tembok kerajaan untuk mewawancarai kaisar, putra mahkota, dan anggota protokoler untuk mengonfirmasi semua bahan yang ia dapatkan.
Sumber buku ini 60 orang. Mereka teman-teman sekolah dan bekas pacar Masako Owada, Pangeran Akihoto, bekas-bekas anggota Kunaicho—protokoler Istana—guru-guru Masako dan Akihito di Harvard dan Oxford. Pendeknya, mereka orang-orang luar yang melihat dan mendengar tentang Masako. Untuk merekonstruksi perang batin Pak Owada ketika menerima pinangan dari Istana, Hills hanya menyaring berita-berita yang sudah ada saja. Ia tak mewawancarai ulang Pak Owada atau istrinya atau adik kembar Masako. Karena itu pilihan terakhir yang ia tempuh adalah menceritakan bagaimana usahanya mewawancarai sumber-sumber A1 itu.
Maka tak heran jika Kunaicho langsung protes ketika buku ini terbit tahun lalu dan diterjemahkan November 2008 oleh Penerbit Alvabet. Sebab, Kunaicholah yang menjadi objek buku ini. Dan ini memang bagian yang paling menarik. Kunaicho tumbuh angker menguasai sisi terkecil kekaisaran Jepang—satu dari 30 oligarki di dunia yang masih ada dan paling sengit mempertahankan tradisi.
Di Inggris kita masih bisa melihat bagaimana Mister Bean dan pelbagai film mengolok-olok Ratu Elizabeth. Keluarga-keluarga kerajaan lain di Eropa, bahkan di Asia, diizinkan menghirup udara bebas di luar Istana. Di Jepang, seseorang yang akan masuk ke lingkaran Kekaisaran akan berpikir seribu kali karena sekali mengangguk berakhirlah hidup bebas di dunia yang fana ini.
Maka tak heran jika Kunaicho mendaftar 1.000 perempuan, menelisik asal-usul, mewawancarai orang-orang terdekat, untuk dijodohkan dengan Hirohito, putra mahkota berwajah bayi yang belum juga punya pacar ketika usianya lewat 30. Kunaicho—Hills menyebutnya orang-orang berjubah abu-abu—bergerak bagai siluman. Kekakuannya menggambarkan para birokrat kerajaan yang kaku dan penuh pengabdian.