ANAK-ANAK

Twitter
Visit Us
Follow Me
LinkedIn
Share
RSS
Follow by Email

Anak-anak adalah tempat bergantungnya kecemasan dan ketakutan para orang tua.

TUHAN memang meniupkan ruh pada setiap janin sebagai sebuah pesan bahwa Ia belum jera dengan manusia.

Tapi di titik itulah beban pada setiap bayi dimulai. Ia akan menempuh takdir, membuat pelbagai pilihan, sekaligus menanggung harapan dari luar dirinya sendiri. Apalagi ini abad 21, sebuah masa yang rumit dan tak terduga–masa depan tak cukup hanya direncanakan.

Tapi, Gandhi sekalipun menentang seorang anaknya menikah di usia 18, meski ia sendiri kawin lebih muda dari itu. Sang Mahatma cemas anaknya menempuh pergulatan batin yang akan melencengkan mereka jadi orang suci. Tak heran jika istrinya menolak cara-cara Gandhi mendidik anak-anaknya: jangan paksa mereka menjadi orang juhud sebelum waktunya.

Pilihan, harapan, kebutuhan, itulah yang membuat hidup kian sempit. Para cerdik cendikia menelurkan pepatah hiduplah dengan mimpi karena mimpi adalah sebermula hidup yang dahsyat. Betapa ganjil sebetulnya kalimat ini. Sebab mimpi itu bukankah justru akan membatasi kita membuat hidup menjadi dahsyat. Tapi itulah tabiat para orang tua, seperti Daedalus.

Ia cemas Ikarus, anaknya, celaka karena keinginannya terbang menembus langit dan melihat dunia yang tak bisa ia jangkau dengan dua kaki. Daedalus cemas oleh keinginan anaknya yang mustahil, meski ia toh akhirnya ikut membantu juga membuat sayap untuk anaknya. Berhari-hari mereka mengumpulkan bulu-bulu angsa, lalu merakitnya, dengan gagal dan coba-coba. Sayap itu jadi juga.

Ikarus pun terbang. Ia memuaskan keingintahuannya, sekaligus menentang kecemasan ayahnya. Lalu ia terbuai. Anak tampan yang selalu ingin tahu ini terus terbang hingga lupa dengan ketinggian. Panas matahari membakar lilin-lilin itu hingga sayapnya merotol satu per satu. Ikarus jatuh dan tak tahu ke mana jalan pulang. Maka, dalam mitos yang agaknya diciptakan untuk menyindir hidup manusia ini, kecemasan orang tua terbukti. Ketakutan para orang tua mengalahkan imajinasi anak-anak.

Dan di titik itulah konflik seringkali dimulai: setiap anak yang ingin bebas itu terbatasi oleh ketakutan di luar dirinya. Ia akan menyerap ketakutan itu menjadi ketakutan dirinya sendiri, menjadi logikanya sendiri. Saat jatuh itu Ikarus menemukan kebenaran atas kecemasan dan ketakutan Daedalus. Sejarah logika manusia pun turun temurun dengan cara itu. Logika Daedalus telah menjadi logika Ikarus.

Karena itu sejarah seringkali berulang. Manusia menempuh kesalahan-kesalahan yang sama, mencari kebenaran-kebenaran yang itu juga. Pertanyaan paling purba yang terus menerus bergaung adalah manakah yang benar: sejarah yang menuntun manusia atau manusia yang menciptakan sejarah? Kita bisa melihatnya pada anak-anak: mereka yang menanggung kecemasan dan ketakutan para orang tua. Kita bisa belajar bahwa kitalah mestinya yang menciptakan sejarah.

Itulah, nak, yang aku pikirkan setiap menatap pelupukmu tidur. Apa sih yang Tuhan rencanakan kepadamu, hingga kau harus menanggung ketakutan dan kecemasan-kecemasanku? Aduh, lebih baik kita nikmati sore yang seru ini saja ya….

Author: Bagja Hidayat

Wartawan majalah Tempo sejak 2001. Mendirikan blog ini pada 2002, karena menulis seperti naik sepeda: tak perlu bakat melainkan latihan yang tekun dan terus menerus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Enjoy this blog? Please spread the word :)