TADI ia berkata, “Ayah, aku mau bikin ruang tamu, kamarku, dan ruang keluarga. Aku mau bikin ruang buku juga lemari dan rak untuk menampung kenangan-kenangan kita. Aku akan bikin meja agar kita bisa mencatat semua masa depan kita. Ayah, aku mau bikin rumah abu-abu.
Ada taman, kolam, ikan koi, pohon jambu, dan kursi di beranda. Setiap sore kita akan duduk di sana, menatap pucuk gunung sambil menghitung capung. Tak usah bikin pagar, biarkan angin masuk lewat halaman yang terbuka, agar rumputan selalu basah oleh embun, agar kita bisa bebas menjala matahari setiap pagi.
Di sana, di kursi itu, aku akan belajar apa saja: tentang ketulusan pada rama-rama, tentang kebahagiaan pada bunga-bunga, tentang kesederhanaan pada rerumputan, tentang keberanian pada pohonan, soal ketabahan pada siput dan lumut. Kita akan mendengar kerisik angin, menikmati kicau burung, menghayati kecipak lokan, mengemasi kesunyian.
Setiap sore, Ayah, aku akan minta kau bacakan segala cerita. Kelak akan kubingkai cerita itu untuk aku bacakan kepada anak-anakku, kepada cucu dan buyutmu…”