Jembatan itu, jembatan yang tua itu, adalah jembatan masa kecil yang hidup dalam angan-anganku. Jembatan yang menghubungkan masa yang belum sudah. Aku gagal menangkap tubuhmu yang melayang dari gawir itu, tapi aku bisa memapahmu menembus banjir sungai ini. Kita menemukan gubuk di seberang, mengeringkan kuyup, mengubur kecemasan-kecemasan: sebuah tikungan menghadang di depan.
Dan kita menempuh tikungan itu, menaklukkan kecemasan itu. Tikungan Nam: belokan yang berliku karena ujungnya tidak satu. Kita merayapinya, mengeja setiap sudutnya. Tapi apa nam apa bukan nam. Kau bilang setiap tikungan adalah permulaan. Baiklah. Karena hitungan tak penting benar pada akhirnya. Ada banyak pengkolan dan kita lupa atau sengaja alpa mencatatnya. Sebab, bukan menaja jumlah itu yang utama, tapi bagaimana kita menempuhnya dan waspada memasuki tikungan berikutnya.
Jembatan dan tikungan itu, cintaku, adalah sebuah jeda agar kita memutar ulang seluruh kenangan dan harapan kita….