PADA AKHIRNYA SENI SEPAK BOLA

Twitter
Visit Us
Follow Me
LinkedIn
Share
RSS
Follow by Email

Dalam sepak bola yang sudah menjadi industri, sepak bola adalah seni, di panggung teater rumput yang luas.

BARCELONA menjadi klub sepak bola terbaik Eropa dengan menjuarai Liga Champions tahun ini. Tim Joseph Guardiola itu memang layak mendapatkannya.

Barcelona memainkan sepakbola sebagai sebuah seni: memadukan keindahan, kerjasama yang apik, taktik yang jitu. Manchester United yang menjadi lawannya praktis hanya bisa menyerang di 10 menit pertama. Kampiun Liga Inggris itu tak bisa membalas dua gol yang dicetak Samuel Eto’o dan Lionel Messi90 menit sisa pertandingan menjadi milik Xavi Hernandez dan kawan-kawan. Barcelona hanya melakukan empat kesalahan mengoper bola dan tak satupunĀ offside.

Messi tak buru-buru ingin memasukan bola ke gawang Edwin van der Sar. Ia mengendurkan serangan dan menyurutkan tekanan jika peluang tak terbuka lebar, lalu mengalirkan bola-bola pendek di tengah, ke sayap, ke belakang, sebelum menusuk lini belakang United. Serangan mereka sama solidnya dengan pertahanan. Ketangguhan lini tengah sama bagusnya dengan kecermatan dari sayap.

Meski tiga bek utama Barcelona tak main karena cedera dan dihukum kartu merah, tak satupun kesalahan yang dibuat Puyol, Pique, dan Toure. Juara Liga Spanyol itu, sekali lagi, memainkan sepakbola indah bahwa pertahanan terbaik adalah dengan menyerang dan ketajaman serangan dibangun oleh kerja keras dari lini bawah. Dua gol mereka tak didapat dari serangan balik atau tendangan bebas.

Sebaliknya, satu-satunya peluang United hanya terjadi ketika Cristiano Ronaldo menendang bola mati sejauh 28 meter dari gawang Victor Valdes di menit ke-5. Selebihnya mereka grogi bermain. Ronaldo tak lagi mendapat peluang enak menendang bola. Rooney kerap tak diberi umpan bagus, Anderson sering salah mengoper, Park-Ji Sung kelihatan demam panggung, Ryan Giggs juga tak berkutik. United pun gagal menjadi klub pertama yang mempertahankan juara liga paling bergengsi di dunia itu.

Barcelona layak mendapat trofi dan gengsi itu. Mereka telah menyajikan sebuah drama ketika menundukkan Chelsea di semifinal. Bermain dengan sepuluh pemain ketika mereka kalah 0-1 justru–dengan kesabaran dan keuletan–mereka bisa membalas gol itu di menit-menit akhir. Di stadion Olympico Roma itu mereka seolah-olah hanya tinggal memanggul trofi itu saja. United sudah kalah jauh sebelum peluit ditiup.

Dan begitulah sepakbola. Olahraga ini diciptakan sebermula memang untuk keindahan. Tentara Cina dan Jepang memainkan olahraga ini tahun 5.000 sebelum masehi untuk memahirkan kungfu dan tontonan yang menghibur. Eropa mencuri dan mengadopsinya justru dengan sejarah kelam kekerasan. Kebrutalan itu kini telah sirna dari lapangan dan pindah ke luar stadion: kekerasan justru dilakukan oleh para penonton.

Tak heran jika sepakbola mendapat perhatian serius para pemikir. Albert Camus merasa berutang budi kepada olahraga ini karena, katanya, mempertontonkan soal moral dan tanggung jawab. Pada akhirnya sepak bola, kata Milan Kundera, adalah panggung teater terbesar yang menyajikan drama, moral, sejarah, peradaban manusia, sepanjang 2 x 45 menit.

Author: Bagja Hidayat

Wartawan majalah Tempo sejak 2001. Mendirikan blog ini pada 2002, karena menulis seperti naik sepeda: tak perlu bakat melainkan latihan yang tekun dan terus menerus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Enjoy this blog? Please spread the word :)