Adonis datang ke Jakarta dan berceramag soal puisi, agama, dan kebebasan. Ia menolak disebut ateis.
IA penyair Arab paling penting saat ini. Buku puisinya Songs of Mihyar The Damamscene menjadikannya kandidat penerima hadiah Nobel tahun lalu. Ia kalah suara dari Orhan Pamuk, penulis Turki yang menulis Snow dan Istanbul dengan memikat: memadukan cerita politik dengan misteri dan percintaan yang ganjil.
Adonis datang ke Jakarta, berceramah di Komunitas Salihara, dan berbicara soal ketegangan seni dan agama. Ia sendiri tak percaya Tuhan. “Saya percaya pada kebebasan, bukan Allah,” katanya melalui penerjemah. Penyair kelahiran Suriah 1930 ini berbicara dalam Arab dan Prancis–tanah air kedua yang ia tinggali lebih dari 30 tahun, setelah eksil karena keberpihakan politiknya yang sosialis. Adonis sempat mengajar di Universitas Sorbonne dan menjadi profesor sastra Arab di sana.
Meski tak percaya Tuhan ia tak menjawab pertanyaan soal apakah ia atheis. Katanya, atheis adalah istilah agama yang jelek maknanya. Karena percaya kebebasan ia tak ingin mengecam orang beragama karena mengecamnya sama saja seperti orang beragama yang mengecam para atheis. “Saya di luar agama, di luar atheis, mari kita bicara dengan bebas.”
Nama aslinya Ali Ahmad Said Esber. Anak petani miskin ini menulis puisi sejak usia 13. Tiap kali mengirim puisi dengan nama Ali, redaktur koran di kota selalu menolaknya. Ia kemudian membaca cerita tentang Adonis, laki-laki tampan yang mati dimakan babi yang melahirkan orang Suriah.
Ini juga nama sungai di Libanon–negeri lain yang ia tinggali cukup lama–yang berwarna merah jika musim panas. Ali kemudian menempelkan Adonis di bawah puisi-puisinya. Ajaib, redaktur koran menerima dan memuat syair-syair itu. Sejak itu nama Adonislah yang dikenal dunia untuk merujuk laki-laki kecil gondrong dengan mata menyala ini.
Yang menarik tentu saja pembahasannya soal ketegangan antara syair dan ajaran agama, meski bukan sesuatu yang sama sekali baru. Bagi Adonis, syair adalah teks yang melampaui dan ada setelah agama. Jika agama memberikan jawaban, syair atau seni pada umumnya mengusung pertanyaan. Karena itu agama adalah keyakinan dan kepercayaan, sesuatu yang sudah final dan selesai. Kita beragama karena agama itu menyediakan jawaban tentang Tuhan dan kebenaran. Sementara kebenaran puisi tak memberikan jawaban. Kebenarannya akan terus berubah dan tak selesai.
Jika kebenaran pada agama ada di belakang teks, kebenaran puisi berada di depan teks. Pada agama, kebenaran ditemukan, pada puisi kebenaran itu dicari. Dan syair yang bagus adalah puisi yang membakar bahkan melampaui keyakinan zamannya. Syair-syair Al Hallaz membakar kepercayaan manusia tentang Tuhan yang transeden dan di luar alam semesta ini. Sebab, syair-syair Hallaz justru membumikan Tuhan yang hidup dalam keyakinan dan iman–karena itu abstrak–menjadi dekat dan ada di sekitar kita.
Maka Quran adalah syair pada zamannya, abad ke-6. Ketika Quran berubah menjadi ajaran yang sakral ia selesai sebagai seni. Ia berubah menjadi ajaran dan agama. Ia memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan pada zaman ketika wahyu diturunkan. Lalu tidakkah syair akan berubah juga menjadi agama jika puisi membakar dan melampaui keyakinan zamannya? Adonis menjawab bahwa seni punya batas. Ia tak akan menjelma menjadi ajaran, karena seni selamanya melempar pertanyaan.
Karena itu agama bukan sumber puisi. Para penyair yang mencari bahan puisi dari agama, dalam keyakinan Adonis, akan melahirkan puisi-puisi kelas dua. Tak hanya agama, puisi yang lahir dari ideologi tertentu, bahkan dari keyakinan tertentu niscaya melahirkan puisi yang dibebani oleh keyakinan itu. Padahal puisi mencari kebenarannya sendiri. Maka seorang penyair, sebermula, selain menaklukkan bahasa, adalah bebas dari segala hal ihwal. Sebab keterkekangan akan melahirkan sensor-diri sejak mula.
Saya tidak tahu bisakah kita menjadi manusia yang murni dan terlepas dari segala hal? Adonis mungkin bisa. Ia lalu mengutip sebuah puisi Ommar Khayyam:
kalau kau siksa aku karena dosaku
apa bedanya aku dengan engkau, tuhanku?