Saya duduk di pojok ruang tunggu Adisucipto karena pesawat telat satu jam sambil membaca Tuesdays with Morrie, sebuah buku tipis memikat yang ditulis Mitch Albom, seorang kolumnis di Detroit Free Press, yang merekam hari-hari akhir bekas dosennya–meskipun kutipan dan pemikiran Morrie Schwartz tentang cinta, harapan, hidup, mati, dan pernikahan, terasa ganjil.
Di sebelah, dua orang bule duduk berpelukan. Mungkin suami-istri, mungkin pacaran. Mungkin 30 atau 35. Mungkin mereka habis liburan, mungkin mau melanjutkan kerja di Jakarta. Saya menebak yang pertama: suami-istri 35 tahun yang akan pulang sehabis pakansi. Yang perempuan menyandarkan kepala ke dada yang laki-laki. Tangan kiri laki-laki memeluk pundak perempuan, lalu menciumi kepala, kening, dan pipi.
Saya terkejut dan tak lagi konsen membaca ketika sayup-sayup saya dengar yang perempuan bertanya: “Bahagiakah kita ini, sayang?” Saya terkedut, pertanyaan semacam ini dilontarkan seorang asing di sebuah bandara yang ramai saat pesawat telat, di sebuah negeri yang tak lama mereka singgahi, sehabis berlibur. Saya terkejut betapa ini pertanyaan serius yang tak mudah dijawab. Ada “kita” dan “bahagia”.
Bagaimana “bahagia” (dengan “B”) bisa melebur ke dalam dua subjek yang terpisah, yang punya sikap, pandangan, perasaan, dan pikirannya sendiri. Dan “Bahagia”, mahluk jenis dan dari abad berapa ia? Bahagia adalah kata paling misterius yang berhasil dirumuskan manusia. Kita tak pernah tahu mengapa kita punya perasaan ini, seperti kita tak tahu ada rasa takut pada hantu padahal kita belum pernah melihatnya. Sebab, perjuangan hidup adalah pergulatan menjadi bahagia. Bagaimana pergulatan itu terumuskan menjadi sebuah pertanyaan yang menuntut?
Saya tak mendengar laki-laki itu menjawab. Saya lihat dia melepas earphone dari telinganya, memandang lekat-lekat perempuan di dekapannya, tatapan yang menyidik: seriuskah pertanyaanmu, sayangku? Saya tak lagi mengerti apa yang mereka obrolkan. Sepertinya serius sebab pelukan mereka lepas, mimik mereka tegang. Sementara saya tak lagi konsen membaca Morrie yang sudah sampai Selasa ke-11.
Dan pertanyaan itu mengganggu betul. Saya ingat sebuah tulisan yang terpacak di sebuah restoran dekat Hotel Hyatt di Jalan Palagan, Monjali. “Kebahagian bukan tujuan, tapi…” Saya tak tahu apalagi yang menjadi tujuan hidup penulis pamflet itu. Ia sepertinya tak berhasil menemukannya. Karena ia hanya menulis bahwa bahagia hanya sebuah antara. Dari apa? Tak ada. Bukankah bahagia adalah sebuah final? Maka saya lebih senang pada tulisan di sebuah taksi yang membawa saya ke Malioboro. Momen hidup paling penting adalah bersyukur dan berbuat baik.
Seperti Morrie Schwartz, dosen sosiologi terkemuka di Universitas Brandeis, Boston. Ketika hidupnya tinggal dua tahun, ketika ALS menyerang syarafnya perlahan-lahan hingga lumpuh dari kaki hingga ujung rambut, profesor 78 tahun yang berdansa di Harvard Square setiap Rabu sore ini tahu betapa hidup menyenangkan ketika justru tak lagi punya dan bisa apa-apa. “Aku makin menikmati ketergantungan ini,” katanya kepada Albom, bekas mahasiswanya yang setia, pada Selasa ke-8, ketika ia tak lagi bisa menyeka kotorannya sendiri dan perawat itu yang mengelap tinjanya.
Dengan kata lain, bahagia dalam kasus Morrie adalah suatu masa ketika ia siap kehilangan segalanya. “Hidupmu akan terasa lebih indah,” katanya, “ketika kamu mengerti bahwa kamu akan mati besok. Dan ketika kau siap dengan kematian, kau akan mensyukuri hidup.” Pada perempuan bule itu, ia mempertanyakan kebahagiaan justru ketika ia sedang memiliki lelakinya. Karena itu pertanyaan semacam ini mengesankan bahwa ia tak bahagia ketika ia takut kehilangan. Sikap ketergantungan yang agak berbahaya, sebetulnya. Sebab di dunia, memiliki adalah sebuah kefanaan yang pasti. Sebab hidup bukan lagi sebuah syukur yang tulus.
Tentu saja, saya hanya bisa menebak apa gerangan yang terjadi dalam hubungan dua orang asing itu. Mungkin hubungan mereka sedang kritis sehingga butuh berlibur berdua yang sayangnya tak memulihkan keadaan, mungkin hanya pertanyaan iseng, atau sekadar bumbu dalam percintaan. Saya ingin menyodorkan sebuah kutipan Morrie yang ganjil tentang sebuah hubungan pada pagina 93. “Jika kau ingin tahu bagaimana mencintai dan punya ikatan mendalam dengan pasanganmu, kalian harus punya anak.” Tapi, sebelum kepala saya penuh menebak-nebak, sebelum pikiran saya sempurna menyanggah kutipan Morrie, petugas memberi tahu waktu boarding telah tiba.
Di batas Yogya, senja tak lagi kentara, ketika pesawat menderu dan hari benar-benar telah malam.
semua tulisanmu udah aku baca mas. apik-apik. sip. top markotop!!!
wah, saya tersanjung, mbah…
“Sayang, apa kita bahagia?”, kata/tanya si perempuan bule itu kepada laki2 di sebelahnya sambil menyandarkan kepalanya di dada sang lelaki yang memeluknya.
Indeed pertanyaan seperti ini dengan pandangan seperti itu yg hampir pasti karena ada kesedihan.
Well written, kang Bagja.
Jogja IS a city that brings million feelings tapi di Jogja saya selalu merasa relaks even sdg undergo big pressure in life.
Mungkin pasangan bule itu perlu pindah dan tinggal di Jogja. ???????????? Sehingga tak akan ada lagi pertanyaan “Are we happy, love?”