DARI SEBUAH BUKU HARIAN

Twitter
Visit Us
Follow Me
LinkedIn
Share
RSS
Follow by Email

SESEORANG menulis kalimat-kalimat ini, pada sebuah buku harian, atau buku coretan karena ia menampung apa saja, tentang apa saja: kisah sehari-hari, jumlah pengeluaran dan belanja bulanan, puisi, aforisme, sketsa, outline sebuah–agaknya–cerpen dan novel, juga catatan perjalanan, tanpa tanggal:

Dulu, saya suka bangun pada sepertiga malam, hanya untuk memandang wajahmu. Wajahmu. Menyidik-nyidik adakah wajahku, gurat keakuanku, di sana. Saya tak ingat apakah saya berhasil. Selalu setiap mencari aku pada kamu, saya menemukan bahwa kita justru seperti buku yang terbuka, buku yang akan menampung halaman-halaman untuk kita isi bersama.

Dulu, saya rutin bangun pada akhir malam, hanya untuk mengecup pelupukmu. Mencari pandang yang telah menaklukanku. Sebab masih kusimpan tatapmu itu di uluhatiku. Kusimpan dan kukumpulkan ia untuk bekal perjalanan panjang ini. Atau kubuka jika aku kangen pada hujamannya, pada bentang kenangannya.

Dulu, saya bangun sebelum subuh, hanya untuk mematri rautmu yang teduh. Rautmu yang mengingatkanku pada Ibu. Aku mencintai raut itu, raut yang lembut dan tabah dan teguh, raut yang menjadi rumah tempat saya istirah selepas tetirah dari jauh benua-benua.

Dulu, saya hentikan mimpi sebelum pagi, cuma untuk mengelus keningmu yang senggigi. Kening yang meredam kecemasan tentang esok yang tak sempurna. Kening yang menampung segala mimpi tentang beranda yang penuh bunga-bunga.

Dulu, aku sudahi malam setelah memasukimu….

Author: Bagja Hidayat

Wartawan majalah Tempo sejak 2001. Mendirikan blog ini pada 2002, karena menulis seperti naik sepeda: tak perlu bakat melainkan latihan yang tekun dan terus menerus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Enjoy this blog? Please spread the word :)