TAK ada melati di Jayagiri, tak ada tatapan penuh kasih, hati yang teduh, dan kecupan yang lembut. Yang ada adalah deru trail dan matahari menerobos lebih leluasa. Orang berlomba naik ke Tangkuban Parahu dengan sepeda motor, menerabas gawir-gawir yang rimbun, mengotori daun-daun dengan karbon monoksida, menderu campur debu…
Jalan-jalan pun banyak bercabang. Tebing-tebing hanya menyisakan bekas trek yang sudah tak dilewati pendaki, tapi tetap gundul karena pohon enggan hidup di sana lagi. Kini tumbuh trek-trek baru yang landai karena digilas roda motor, diinjak para pencari rumput, diteruskan para pendaki.
Pohon-pohon terluka oleh vandalisme. Di sebuah akasia, misalnya, tertoreh “Aku cinta padamu, Ratna….” dengan bulat hati tertancap anak panah. Betapapun ini romantika vandalisme tahun 80-an, cara menyatakan cinta begitu abadi dari generasi ke generasi. Betapapun itu melukai mahluk hidup yang lain. Akasia itu akan menanggung luka itu seumur hidupnya, tanpa bisa meneruskan pesan itu kepada Ratna, Rini, Riri…
Jayagiri kini begitu panas, kotor oleh sampah plastik dan bekas bungkus makanan sepanjang jalan. Pinus meranggas seolah tahu nasib mereka tak akan lama lagi. Pemerintah sudah menunjuk sebuah perusahaan untuk membabatnya, menggantinya dengan kebun kopi, mungkin bangunan-bangunan yang mentereng. Jayagiri barangkali segera akan tinggal kenangan. Anak-anak kita akan tahu kelebatan dan keteduhannya hanya dari lagu Iwan Abdulrahman yang diciptakannya tahun 1967.
Saya mendaki punggungnya 16 Agustus lalu dan kecele: tak ada bau embun yang bersarang di ujung-ujung daun, tak ada desau pinus dan humus yang lunak, tak ada harum angin, tak ada hutan kelabu meski sudah hujan, tak ada rimba, tak ada melati, keindahan tumpas di Jayagiri….