AGAK aneh dan menggelikan bahwa saya ditanya tentang perkawinan.
Dia bertanya amat serius, pada malam sehabis buka puasa. Perut kenyang, mengantuk, tak bisa gerak, dan dia meminta sebuah pertimbangan apakah perkawinan itu mesti atau tidak untuk dirinya, seorang perempuan lewat 30 yang bisa dengan enteng putus dan jadian dengan laki-laki baru kenal.
Saya tak heran dengan pertanyaan semacam ini. Ia kerap melontarkan pertanyaan yang konyol dan sia-sia. Dia tahu, saya kadang menyesal mendengarnya, tapi dia akan terus dan terus. Malam itu, malam dengan bulan yang lewat sempurna, dia bertanya: “Apakah saya perlu mengawini laki-laki ini?”
“Tergantung. Kamu butuh laki-laki atau suami?”
Sampai Ramadan hampir habis, dia tak bertanya lagi.