Kota-kota Jepang berwajah sama, homogen, bahkan mungkin hingga model jas dan keranjang sepeda orang-orangnya. Dari Osaka hingga Kitakuwada.
SEORANG Jepang berkata kepada seorang Indonesia, di stasiun Kyoto pada jam sibuk, ketika orang berjubel dan kami hampir tak bisa ke Tokyo karena pintu Shinkansen kami menutup sedetik begitu kami menginjakkan kaki di gerbongnya. “Saya selalu suka orang Indonesia,” katanya.
Seorang Indonesia, teman saya ini, sambil nyengir menjawab. “Oh, terima kasih. Suka apanya?”
“Selalu telat dan apa pun bisa dibikin lucu.”
Teman saya ini, dan saya, keterusan ngakak. “Tentu saja, dan kalian menjadikan apa pun sangat serius.”
Karena itu mungkin Jepang jadi negeri maju meski minim sumber daya alam. Mereka serius dengan apa pun. Jadwal kereta tak bergeser barang semenit. Yang telat berlari sudah pasti ketinggalan karena pintu otomatis menutup dan gerbong beringsut begitu sampai pada jadwal.
Dan kami hampir ketinggalan kereta karena si teman itu masih memaafkan dirinya yang masih bingung memilih cendera mata. Kami berlari di antara ribuan orang yang bergegas [anehnya, tak satupun yang tabrakan]. Dalam engah kami masih bisa ngakak. Masih untung bisa ngejar kereta.
Kita punya untung yang tak pernah habis. Untung ini untung itu bahkan ketika sudah celaka keliwat-liwat. Orang Jepang yang tak punya banyak persediaan untung mengerjakan banyak hal dengan kecepatan yang tak mungkin kita kejar, alih-alih mengimbanginya.
Time is money tanpa time tak akan dapat honey. Tapi gerak gegas dan serba tertib itu melahirkan kota-kota yang sunyi. Orang berjalan, duduk, atau berlari dalam diam di bawah lampu-lampu yang tak pernah tidur. Di Tokyo atau Osaka, di Hiroshima atau perbukitan Kitakuwada, kota-kota berwajah sama.