Pejabat Jepang terbiasa naik kereta tanpa pengawalan. Birokrasi efektif dan efisien. Uang pajak tak perlu keluar untuk menggaji pengawal.
DIA seorang laki-laki yang sudah 34 tahun jadi diplomat. Jabatannya kini Sekretaris Utama merangkap juru bicara Kementerian Luar Negeri.
Sebagai orang yang sudah melanglang buana, Pak Kodama tak sungkan bersalaman ketika pertama bertemu, tak seperti orang Jepang kebanyakan yang hanya membungkuk jika bertemu dan berpisah untuk mengucapkan salam.
Kami makan malam di sebuah restoran tradisional Jepang di kawasan Akasaka yang tak pernah tidur. Akasaka adalah satu kawasan supersibuk di Tokyo karena di sini mangkal pusat hiburan dan gedung-gedung menjulang.
Kodama-san seorang yang hangat. Dia bisa ngobrol ngalor ngidul tentang apa saja. Dan dia hapal dari mana saja kami berasal. Ketika satu persatu 11 wartawan Asia-Pasifik bertanya kepadanya, Kodama-san menyebut negara kami dan menceritakan kenangan-kenangannya ketika berkunjung, di sela tempura, udon, dan bir Asahi yang klasik. Ceritanya unik dan lucu-lucu.
Sewaktu pulang, kami masih mengobrol di depan restoran. Di bahu jalan ngejogrok Honda hitam besar. Saya pikir itu mobilnya. Ternyata bukan.
Pak Kodama pamit duluan dan berjalan cepat menuju stasiun subway di seberang jalan. Sendiri menenteng tas tanpa pengawalan. Kata seorang stafnya, setiap hari dia memang pulang balik naik subway ke kantornya. Dua direkturnya juga pulang sendiri-sendiri ke arah berlawanan.
Lagi-lagi ini memang soal transportasi publik yang nyaman. Para pejabat sudah biasa berjalan kaki atau naik sepeda ke kantor.
Birokrasi juga jadi efisien karena uang pajak tak perlu keluar untuk menggaji dua-tiga pengawal untuk melayani para pejabat ini. Juga tak banyak biaya untuk mobil dinas. Para pejabat publik, seperti juga bentuk kantor-kantornya, tak berbeda rupa dengan manajer toko atau pekerja swasta. Sama-sama berjas dan dasi.
Menurut seorang direktur transportasi di Pemda Tokyo, selama enam tahun terakhir jumlah mobil pribadi berkurang 10 persen. Pemakainya beralih ke transportasi massal seperti kereta atau bus atau sepeda atau berjalan kaki saja, selain karena harga mobil mahal minta ampun.
Pemerintah memang sedang gencar berkampanye mengurangi emisi karbon. Apalagi Perdana Menteri Hatoyama sudah mencanangkan mengurangi emisi karbon hingga 25 persen tahun depan. Target yang berat mengingat Jepang satu dari lima negara yang paling banyak menyumbang karbon dioksida.
Sebelum rakyatnya tergerak mengikuti program pemerintah, para pejabat memberi contoh langsung dengan jalan kaki ke kantor. Seperti Kodama-san yang segera lenyap masuk ke stasiun bawah tanah…