CERITA TENTANG SEBUAH NOTES

Twitter
Visit Us
Follow Me
LinkedIn
Share
RSS
Follow by Email

Sebuah kultur Jepang yang layak ditiru.

SIANG ini saya terkejut karena ada amplop putih berlogo Foreign Press Center tergeletak di meja kantor. Itu jelas amplop buat saya karena nama dan alamat kantor saya tertulis di sana. Saya kenal tulisannya: tulisan tangan Ota-san dari Nippon Press Center. Saya makin terkejut karena isinya notes dan pulpen yang tertinggal di restoran tradisional Jepang di Akasaka, Tokyo. Saya memang makan malam di sana dua pekan lalu.

Astaga. Bagaimana notes itu bisa kembali ke sini? Isinya tak terlalu penting. Hanya catatan belanja bulanan dan wawancara singkat dengan Kazuo Kodama, Dirjen Hubungan Eksternal Kementerian Luar Negeri Jepang. Ota-san pasti melihat cover notes itu yang berlogo majalah Tempo lalu mencocokkan dengan puluhan kartu nama tamu-tamunya pekan lalu. Cocoklah dengan nama saya dan mengirimkannya ke sini.

Ia memang pernah mengirim email mengabarkan soal notes itu. Saya bilang buang saja karena isinya tak penting. Eh, dia susah payah mengembalikannya. Saya tak henti terkagum-kagum bagaimana barang itu bisa kembali ke tangan saya dalam waktu cepat. Saya pernah ketinggalan topi dan sekotak kartu nama di sebuah restoran di Yogya. Barang itu tak kembali hingga kini.

Istri saya ternyata pernah mengalami juga, tahun lalu, waktu tinggal sebentar di Kyoto. Ceritanya dia habis main ke Tokyo–9 jam naik kereta biasa atau 2 jam naek kereta supercepat. Waktu pulang dia bawa tas belanjaan [ini pasti barang titipan]. Isinya rupa-rupa oleh-oleh, paling banyak jam Swiss yang sedang diskon. Total jenderal 200 ribu yen atawa kira-kira Rp 2 jutaan. Nah, waktu turun kereta dia buru-buru, jadilah bungkusan itu tertinggal di bagasi gerbong di atas kursi penumpang. Kereta komuter itu sudah jalan lagi ketika ia sadar barangnya tertinggal, sementara kereta ke Kyoto di peron lain sudah mau jalan.

Dia menghubungi petugas di ruang peron. Petugas ini berjanji akan menghubunginya jika barang itu sudah terlacak. Dia menyuruh istri saya pulang saja daripada tertinggal kereta. Sampai di Kyoto, benar saja petugas itu menelepon dan mengabarkan jika bungkusan itu sudah ketemu di Yokohama dan akan segera dikirim ke stasiun Kyoto. Istri saya melapor ke stasiun Kyoto dan, kata petugas, bungkusannya belum sampai. Nanti, kata petugas yang ramah itu, jika barang itu sudah sampai Kyoto ia akan mengabari. Taruh saja kartu nama dan alamat.

Esoknya, petugas ekspedisi mengetuk pintu membawa bungkusan yang tak bocel barang secuil. Edan!

Cerita lain lagi: teman istri saya yang dompetnya jatuh entah di mana. Ketika bingung dan hampir saja melapor ke polisi, telepon apartemennya berdering. Seorang ibu mengabarkan jika dia menemukan dompet berisi nomor telepon kamar itu. Dia meminta petunjuk arah agar sampai di apato teman kami ini untuk menyerahkan dompet. Teman istri saya tentu saja menolak kebaikan berlimpah itu. Dia yang akan menemui si ibu. Mereka pun janjian di depan sebuah restoran yang terkenal. Si ibu itu memang menunggu dan mengembalikan dompet seraya menolak ketika akan diberi beberapa lembar yen.

Author: Bagja Hidayat

Wartawan majalah Tempo sejak 2001. Mendirikan blog ini pada 2002, karena menulis seperti naik sepeda: tak perlu bakat melainkan latihan yang tekun dan terus menerus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Enjoy this blog? Please spread the word :)