DI BOGOR

Twitter
Visit Us
Follow Me
LinkedIn
Share
RSS
Follow by Email
DI Bogor, orang boleh tak memakai helm saat berkendara dan membonceng dua orang di jalan raya, jalan utama, jalan yang rame. Polisi tak mempedulikan kendati para pengendara motor yang banyak ini lewat pelan-pelan di depan mereka. Saya tak hanya sekali-dua melihat orang yang dibonceng tak pakai helm.
Suatu kali saya janjian dengan seorang teman lama untuk buka puasa di sebuah restoran di Jalan Pajajaran. Dia datang memakai sepeda motor baru karena baru dua bulan lancar menungganginya. Selesai makan dia mau antar saya ke stasiun dengan motornya. Saya tertegun, bagaimana bisa? Dia tak bawa helm dua karena menyangka saya bawa mobil [asem! Ini barang yang tak berani saya bayangkan memilikinya]. Dia ketawa. Nyante aja, katanya. Polisi tak akan menangkap pembonceng yang tak pakai helm.

Benar juga. Kami selamat sampai stasiun, meski melewati pak polisi yang mengatur angkot yang suka ngetem dan berhenti mendadak. Dan teman saya ini tak memakai jaket menembus udara malam Bogor sehabis hujan deras. Saya sadar saya memakai ukuran-ukuran Jakarta untuk heran dan tertegun. Di Jakarta, saya tak berani membonceng teman yang tak memakai helm karena pernah dua kali ditilang akibat nekad. Di Jakarta, tubuh kita berbedak polusi jika tak memakai jaket.

Polusi Bogor mungkin tak setebal itu, tapi jalanan kini padatnya bukan main. Sewaktu saya sekolah di sini– dan apa yang disebut factory outlet belum tumbuh, halaman kampus masih bisa dipakai main bola bukan mal mewah–jalanan masih lengang. Mahasiswa takut pulang menyusuri trotoar sehabis kuliah malam karena sering dicegat waria yang bosan menunggu pelanggan. Gerimis jadi kuning menyiram Tugu Kujang yang lengang. Walhasil, pengendara mestinya sadar bahwa helm itu perlu, tak sekedar gaya.

Tapi, di mana sih pertumbuhan kota dibarengi pertumbuhan pranata dan alat-alat sosialnya. Sawah-sawah kini jadi kompleks perumahan tanpa pembenahan jalan menuju ke sana. Padahal setiap supir angkot dimintai uang oleh petugas berseragam Dinas Perhubungan. Pertanyaan kemana uang itu jadi terdengar naif. Jalan di lampu merah di depan kantor walikota itu bergelombang tak keruan. Dari stasiun sampai ujung Panaragan juga sama saja. Pengendara yang tak akrab terajrut-ajrut kalau lewat sini.

Saya bayangkan, jika pemerintah daerah tak punya uang memperbaiki dan merawat jalan raya, mestinya mereka memanggil para pengembang itu, yang sudah mendapat keuntungan dengan menjual banyak rumah. Patungan saja. Misalnya, pengusaha yang menyediakan aspal, pemerintah yang menyediakan alat-alat beratnya. Pengusaha yang menyumbang batu split, pemerintah yang menyediakan tukang-tukangnya.

Barangkali itu keinginan yang terlalu mewah. Sudah berabad-abad Bogor disebut Kota Hujan karena air dari langit bisa turun 2-3 kali dalam sehari, dengan petir-petir yang mengerikan. Tapi mal dan kantor tak menyediakan tempat menyimpan payung–kecuali hujan sudah membuka peluang usaha ojek payung. Lantai mal pun jadi becek karena payung pengunjung meneteskan sisa hujan.

Birokrasi memang sering telat mengimbangi pertumbuhan ekonomi, apatah lagi pertumbuhan keinginan manusia.

Author: Bagja Hidayat

Wartawan majalah Tempo sejak 2001. Mendirikan blog ini pada 2002, karena menulis seperti naik sepeda: tak perlu bakat melainkan latihan yang tekun dan terus menerus.

2 thoughts on “DI BOGOR”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Enjoy this blog? Please spread the word :)