London boulevard kotor. Orang buang sampah agak sembarangan.
Di London orang merokok dalam gerak gegas di trotoar atau mengkerut di teras kafe dalam dingin udara Januari. Tak ada gedung yang membolehkan orang merokok di dalamnya. Dan London tak menyediakan banyak asbak publik di sepanjang pedestrian. Akibatnya, puntung kretek bertebaran di mana-mana.
Barangkali ini satu problem saja dari sebuah kota besar. Orang membuang puntung di mana saja, dan tak ada petugas yang membersihkan. Dan orang London gemar bepergian. Kaki lima yang lebar selalu penuh dengan orang dan sementara jalanan sesak oleh mobil dan pelaju sepeda. Jalan-jalan itu tampak kian menyempit karena gedung-gedung gothik yang bata merahnya menyimpan sejarah itu menjulang, berat, kaku, dan mendesak.
Dan fasilitas publik, di kota yang beradab, akan membentuk kebiasaan-kebiasaan. Sebab di Tokyo orang merokok dalam diam, sambil berdiri atau duduk di dekat asbak publik, sengaja ke sana untuk merokok atau sambil menunggu lampu menyala hijau di perempatan. Lalu mereka mematikannya sebelum bergegas lagi. Dan asbak-asbak bertebaran di sudut-sudut jalan.
Tapi barangkali karena London lebih kosmopolitan. Hampir semua ras ada di sini. Seorang pejabat pemerintah dari partai buruh mengeluhkan problem imigran di tengah kemacetan ekonomi. Kota yang kosmo selalu punya problem rumit mengatur kebiasaan bersama.
Kita tak sedang membicarakan Jakarta, yang bagaimana pun pemerintahnya menyediakan tempat sampah, orang bisa seenaknya membuang bungkus kacang. Ruang terbuka di Jakarta adalah tempat sampah, juga got, atau jalan protokol. Kita membuang sampah-sampah itu karena berpikir dan tahu akan ada petugas berbaju kuning atau putih yang menyapunya nanti. Kebiasaan-kebiasaan itu kelak akan membentuk cara pikir dan tradisi kita.
Problem sampah di kota-kota mungkin hanya satu segi saja bagaimana kita melihat tradisi itu tumbuh. Sampah adalah pertemuan antara kesadaran dan peraturan bersama yang menjadi ciri utama sebuah peradaban.