SUNAT

Twitter
Visit Us
Follow Me
LinkedIn
Share
RSS
Follow by Email

Pengalaman sunat pertama, dan, pasti, terakhir.

 

SETELAH dua tahun tak mempan dibujuk dengan aneka jurus, Mikail tiba-tiba mau diajak ke dokter sunat. Ia termakan omongan Mail di serial Ipin-Upin yang bilang bahwa disunat lebih sakit daripada digigit harimau. Tiap kali dibujuk, lalu ia sendiri berkonsultasi dengan puluhan orang tentang rasa sakit itu, kesimpulan akhir selalu sampai pada digigit harimau itu.

Kemarin tiba-tiba ia mau dan dengan sukarela masuk ruang operasi. Malam sebelumnya ia tegang sampai tak bisa tidur. Ketegangan berlanjut begitu ia melihat jarum suntik di kamar operasi. Setelah obat kebal itu bekerja ia ketawa-ketiwi ketika mengobrol dengan dokter tentang hadiah yang dijanjikan. Ia sendiri yang menentukan hadiahnya, saya tak pernah mengangguk menyetujui.

Operasi selesai 15 menit. Dokter memotong kulup dan memasang helm di penisnya, tanpa rasa sakit, rapi, dan tanpa upacara ini-itu.

Sewaktu saya seumurnya, disunat adalah sebuah peristiwa menakjubkan dengan ritual. Dan disunat adalah kerelaan, juga sebenar-benarnya kemaluan. Sebab anak-anak yang belum disunat tak bisa mengaji apalagi memegang Al Quran, belum sah bergaul dengan anak-anak lain yang sudah dikhitan, atau belum boleh main petak umpet di tempat gelap. Kelongwewe akan mencari anak-anak berkulup di sudut-sudut kampung yang belum terpapar listrik.

 Saya harus mandi pagi sekali, dalam udara dingin, agar kulit sedikit kebal. Anak-anak sebaya sudah berkumpul menunggu mantri sunat, mantri tua yang sudah lamur. Mereka, tentu saja, menunggu saweran setelah pemotongan itu—dan, ini yang tak enak, mereka akan bersaksi apakah saya menjerit atau tidak.

Sebab menjerit atau tak menjerit akan dikenang oleh semua orang. Anak yang menangis saat sunat akan diejek dalam permainan sehari-hari. Dan tahun 1980-an obat kebal hanya obat semprot, karena suntik perlu teknik khusus.

Dalam keremangan pagi di bawah petromak itu, mantri sunat sering tak pas menyemprot kulit yang akan dipotong. Saya meleset kena selangkangan. Ketika ritual dimulai, saya menahan sakit amat sangat di balik sarung yang dirungkupkan ke kepala.

 Bagian tubuh paling berharga itu pun menjadi tontonan orang sekampung. Yang tak melihat hanya satu orang: saya sendiri karena mata ditutup sarung, di pangkuan seorang uwa. Dan tontonan tak berhenti sampai di situ.

Setelah bagian tubuh itu dipisahkan lalu dilempar ke atap rumah karena akan menjelma penjaga gaib yang setia, saya mesti memamerkannya di ruang tengah. Semua orang datang melihat, berkomentar tentang luka itu, ada yang menghibur, tak sedikit yang meledek.

Setiap anak sunat hanya terhibur ketika para pelayat itu melemparkan uang ke peci yang diletakkan terbalik. Saya mendapat Rp 120.000, cukup untuk membeli sepeda mini-Benz, dan dua kambing betina.

 Pada Mika, di tahun 2012, ia menjalaninya sambil mesem-mesem. Tak ada mata yang menonton, tak ada anak-anak sebaya yang menyaksikan dan akan bercerita kelak bahwa ia tak tahan menerima rasa sakit. Sunat bagi dia adalah sebuah ruang privat yang tak mesti dipertanggungjawabkan kepada siapa-siapa. Dokter dan perawat itu pasti lupa penis siapa saja yang sudah dipotong. Pagi itu saja ada sepuluh anak yang mengantri.

Sampai di rumah, obat kebal itu rupanya berakhir masa tugasnya. Dua jam Mikail jerit-jerit. Sumpah serapah ala Kapten Haddock telontar tak beraturan. “Pokoknya, aku kapok disunat!” Ya, tentu saja, saya juga tak ingin mengulangnya.

Author: Bagja Hidayat

Wartawan majalah Tempo sejak 2001. Mendirikan blog ini pada 2002, karena menulis seperti naik sepeda: tak perlu bakat melainkan latihan yang tekun dan terus menerus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Enjoy this blog? Please spread the word :)