Catatan: Tulisan Goenawan Mohamad, pendiri dan redaktur senior Tempo, tentang pertemuan internal Tempo untuk mengklarifikasi Forum Pemred (Pemimpin Redaksi) yang membuat acara mewah di Nusa Dua, Bali. Saya mengutip dari notes di Facebook GM karena nilai-nilai penting dalam jurnalisme di zaman ini. Saya ada di ruangan itu, memberi pendapat tapi tak ikut menangis. Ketika membaca kembali catatan ini kok mata jadi rembes….
DUA hari yang lalu saya datang ke kantor Tempo untuk menemui S. Malela Mahargasarie, guna membicarakan penerbitan buku puisi saya, “Don Quixote” dalam dwi-bahasa.
Di tengah kesibukannya, Malela (dan Koko, atau Arcaya Manikotama, desainer grafis) selama ini dengan murah hati membantu penerbitan buku-buku saya melalui Tempo.
Saya sangat jarang mengunjungi kantor Tempo. Sehari-hari saya di Komunitas Salihara. Hari itu, ketika saya sedang berbicara dengan Malela, rupanya para wartawan sedang berkumpul di ruangan lain. Mereka mau mendengarkan penjelasan Pemimpin Redaksi, Wahyu Muryadi tentang pertemuan Forum Pemimpin Redaksi di Bali baru-baru ini.
Rupanya ada keresahan para wartawan itu melihat Pemimpin Redaksi menjadi Ketua Forum Pemimpin Redaksi—apalagi melihat Forum itu menyelenggarakan pertemuan yang mewah di Nusa Dua, dengan biaya yang besar bukan dari kantong sendiri.
Seperti saya, dan banyak orang lain, para wartawan Tempo itu tak tahu apa tujuan Forum itu; kenapa pula pemimpin mereka mengetuainya. Para wartawan itu, (sebagaimana saya dengar hari itu), menolak untuk terlibat ke dalam organisasi yang tak jarang dipergunakan untuk “berjual-beli” informasi agar pas dengan kepentingan pemegang kekuasaan politik dan oligarki.
Sebagaimana mereka katakan, kebanggaan wartawan Tempo sekarang (dengan gaji yang tak luar biasa) adalah karena bisa membuktikan diri: mereka profesional yang berani, jujur, dan teguh.
Komitmen untuk itu tak mudah, di tengah godaan zaman ini. Juga tak jarang berbahaya, dan umumnya tak enak—terutama karena dianggap congkak. Tapi seperti diingatkan seorang jurnalis perempuan di ruang rapat hari itu, jadi wartawan Tempo itu ibarat samurai yang memilih “jalan pedang”: keras hati, terlatih, selalu siap dalam melihat dan berkonfrontasi dengan musuh — dengan kekuatan yang kotor dan destruktif.
Maka mereka hari itu bertanya, mereka menggugat, mengapa justru Pemimpin Redaksi mereka aktif dalam pertemuan Bali yang dibiayai pengusaha besar dan BUMN?
Saya diajak ke dalam pertemuan. Saya terkesima dan terharu menyaksikan dari dekat bagaimana tradisi demokratis dan egaliter di Tempo masih hidup.
Toriq Hadad, Direktur, ada di sana, tapi tidak memimpin pertemuan. Wahyu Muryadi, Pemimpin Redaksi, mendengarkan dengan sabar semua kritik yang mendasar. Dan para wartawan mengutarakan pikirannya dengan jernih, terus terang tapi santun.
Tentu saja seperti biasa dalam pergaulan Tempo bertahun-tahun, ada humor. Hanya hari itu ada air mata: mereka sedih bila Pemimpin Redaksi tak menyadari bahwa dalam pertemuan Bali itu ada yang tak sesuai dengan prinsip etis Tempo.
Agak malu saya bahwa saya juga tak bisa menahan air mata. Saya terharu. Sebagian besar para wartawan itu ada di sana, menjadi para “samurai”, jauh setelah saya tak aktif lagi. (Dalam jajaran redaksi, saya adalah redaktur senior — kata lain dari “redaktur pensiunan” — yang dapat honorarium sebagai penyumbang esai “Catatan Pinggir”). Tapi para wartawan itu, dalam umur yang mungkin separuh umur saya, meneguhkan kembali: jurnalis yang bermutu dalam kerja dan dalam kejujuran bukan hanya sebuah mitos. Mereka ada. Mereka riil.
Dan mereka dengan mudah mencapai kesepakatan dalam hal nilai-nilai dasar.
Tak mengejutkan bahwa dengan tanpa susah payah Wahyu Muryadi, menyadari kekhilafannya. Ia memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatan Ketua Forum Pemimpin Redaksi.
Semua bertepuk tangan. Semua memeluk pemimpin dan kolega mereka, Wahyu.
Tak ada yang jadi pahlawan. Yang ada hanyalah orang-orang yang berusaha menjaga apa yang baik di tengah keculasan dan sinisme di masyarakat kita hari-hari ini.