Cepot tokoh wayang golek yang kocak tapi pernuh kebajikan.
CEPOT identik dengan Asep Sunandar Sunarya yang meninggal di usia 58, Senin lalu. Dalam dunia wayang golek, dia seperti Srimulat bagi para pelawak.
Asep menjadi pionir dan kiblat mendalang di zaman modern. Inovasi panggungnya sangat terkenal: cepot berkaki satu dengan kepala bisa mengangguk, Gareng sebagai tambahan punakawan, buto copot kepala hingga wayang bisa memuntahkan mi.
Dan bukan hanya karena itu Asep dikenang banyak orang. Ia menghibur karena memenuhi daya khayal penonton akan dunia lain yang disediakan pewayangan.
Kita datang ke pertunjukan Asep tak hanya untuk menonton nayaga dan panggung Giri Harja III yang megah, tapi juga menyimak “dunia lain” yang dimodifikasi Asep dari kisah Ramayana dan Mahabharata dengan sangat lokal dan kontekstual.
Di antara sekian banyak tokoh wayang yang berkarakter karena suaranya berbeda-beda, agaknya Asep identik atau mengidentikkan diri dengan Cepot. Inovasinya mendalang sangat bertumpu pada tokoh ini.
Asep menciptakan kaki dan kepala Cepot bisa mengangguk, yang membuatnya terkenal ke seluruh dunia. Dan Cepot komplet sebagai tokoh. Meski memanggil Semar dengan “ayah”, Cepot bukan anaknya. Ia bayangannya sehingga selalu ada di sisi Semar tiap kali tampil.
Cepot atau Astrajingga bermuka merah karena ia gampang naik darah. Ia pemarah yang lucu.
Muka merah itu berkombinasi dengan hidung minimalis dan bibir menyeringai tertawa lebar menunjukkan satu gigi. Ia punakawan paling lucu dan pintar sekaligus paling filosofis. Ada satu cerita Cepot patah hati serius karena cintanya ditolak seorang putri dan kemarahannya membuat Tumaritis dan Hastinapura guncang.
Tentu saja Cepot tak ada dalam cerita asli Ramayana atau Mahabharata. Cepot kreasi asli dalang-dalang di Jawa Barat untuk dua epos besar India itu. Dalang yang berhasil adalah dalang yang bisa memainkan Cepot dengan sempurna: lucu, gampang marah, cerdas, sekaligus omongannya penuh renungan. Sebab, dengan sifat yang witty seperti itu, Cepot ditunggu penonton.
Dalam sebuah jeda perang Ayodya dan Alengka memperebutkan Dewi Shinta, Cepot tampil dengan pikirannya yang unik. Ia berdebat dengan seorang kesatria tentang perlunya berdoa di zaman perang “konyol” itu.
Kesatria itu menyergah bahwa doa tak diperlukan manusia karena Tuhan telah menggariskan nasib dan Ia mahatahu apa yang ada dalam hati dan pikiran kita. Dengan gaya humornya, Cepot sampai pada jawaban-jawaban filosofis yang masuk akal dan membumi.
Bagi Cepot, berdoa tak semata meminta dan memohon pertolongan dari sesuatu di luar akal manusia, kekuatan yang tak teraba pancaindra. Bagi dia, berdoa adalah cara bersyukur dan mendekat kepada Tuhan. Pada momen berdoa, kata Cepot, ada pengalaman individual yang transenden dan kejujuran pengakuan sebagai makhluk yang dhaif. Itulah iman, sesuatu yang membedakan manusia di mata Tuhan.
Dengan cara berpikir seperti itu, Astrajingga sesungguhnya tokoh sentral dalam wayang golek. Ia tak melulu arif seperti Semar, tak selamanya bijak seperti Kresna, atau selalu melucu layaknya Gareng. Astrajingga paduan itu semua.
Ia mengingatkan pada Nasruddin Hoja atau Abu Nuwas, filsuf yang berpikir dari sisi humor. Asep Sunandar mentransformasikannya dalam kesenian yang amat digemari di Jawa Barat. *
*) Kolom di Koran Tempo edisi 2 April 2014.