Kengerian dipertontonkan secara telanjang di mana-mana. Lama-lama kita akan terbiasa dengan kekerasan.
MANAKAH yang lebih mengerikan: sebuah novel horor atau tayangan berita kriminal di televisi? Barangkali kita sulit membedakan mana yang lebih mengejutkan di tengah zaman ketika cerita yang seharusnya hanya ada dalam prosa meruyak dalam kehidupan nyata, mengisi halaman-halaman berita.
Seorang guru di Wates, Jawa Tengah, menusuk guru lain yang sedang mengajar di depan kelas, di depan puluhan murid-muridnya. Pembunuhan itu berlangsung cukup lama karena korbannya melawan dan terjadi perkelahian, darah membanjir, guru itu meregang nyawa dengan 25 tusukan, disaksikan murid-muridnya sendiri! Bagaimana kita membayangkan, seorang anak sembilan tahun memutuskan terjun dari lantai 19 apartemen karena dilarang menonton Spiderman oleh ibunya?
Dunia adalah mahaprosa yang tak tepermanai. Dunia dan manusia telah melampui imajinasi para penulis prosa, dengan lebih banal. Dunia seperti sedang membangkitkan kembali Nikolai Chernyshevsky yang meyakini realitas jauh lebih mengejutkan, jauh lebih mengagumkan, ketimbang karya seni. Gagasan abad 19 itu kini menemukan muaranya lewat televisi, Internet, dan telepon pintar.
Betapa kini realitas telah merebut apa yang dulu diimajinasikan orang—karena dulu kabar-kabar kriminal tak menyebar melaui media massa. Sebuah peristiwa pembunuhan kini lebih mencengangkan dibanding sebuah cerita pendek di halaman koran pada hari Minggu. Di halaman prosa itu, kita tak mendapat kejutan pada pagi seraya menyesap kopi di beranda itu. Cerita-cerita berhamburan tak membekas dan nama-nama berseliweran tanpa berhenti menjadi “tokoh”.
Para “tokoh” telah diambil alih oleh pelaku nyata di luar beranda rumah kita, di luar halaman-halaman fiksi. Di Wates, guru itu membunuh karena tersinggung dimaki temannya yang ia bunuh itu, dan ia melakukannya di sekolah—tempat anak-anak membekali diri dengan imajinasi dan kearifan, tempat mereka berlindung pada sosok yang layak digugu dan ditiru. Di Jakarta, ada sekolah yang menjadi sarang predator seks yang bertahun-tahun pelakunya tak tersentuh oleh hukum. Di Sukabumi, seorang remaja menyodomi anak empat tahun hingga tewas, dan korbannya mencapai lebih dari 100 orang.
Daftar itu bisa diperpanjang hingga kita akrab lalu melupakan kengerian-kengerian itu, karena sebuah kebrutalan akan tertindih oleh kebrutalan lain. Paralisis itu akan menumbuhkan frustrasi karena kita seolah tak punya andalan terakhir menghentikan kesakitan massal itu. Kita dipaksa bersiap menerima kesakitan dan kengerian lain karena kengerian-kengerian serupa sedang terjadi di tempat lain di waktu yang lain.
Peristiwa-peristiwa itu hanya menunggu giliran diberitakan karena Internet dan telepon pintar memungkinkan sebuah peristiwa tersiar tanpa melalui pena wartawan. Pada akhirnya, dan mungkin ini sedang terjadi, kita akan menjadi bebal bersama.
Toh, berita-berita kekerasan itu kita lihat dan baca sambil gelantungan di kereta malam, minum cappucino yang hangat di kafe yang gemerlap, lalu membagi dan memberi komentar kengerian itu melalui media sosial, kemudian beralih membaca atau menonton berita lain tentang kuliner yang lezat atau menganalisis langkah elite-elite partai mendagangkan perolehan suara dalam pemilihan umum.