Ikarus mewakili alam pikir anak-anak yang sering bentrok dengan pikiran orang tua.
SEPERTI Ikarus, anak-anak adalah tempat bergantungnya kecemasan dan ketakutan para orang tua.
Tuhan mengedutkan rabu tiap janin sebagai sebuah pesan. Ia belum jera dengan manusia. Tapi di titik itulah beban pada setiap bayi dimulai. Ia akan menempuh takdir, membuat pilihan, sekaligus menanggung harapan dari luar dirinya sendiri. Dan ini “bulan anak-anak” di abad ke-21, sebuah masa yang kian rumit dan tak terduga–masa depan tak cukup hanya direncanakan.
Gandhi sekalipun menentang seorang anaknya menikah di usia 18 tahun, meski ia sendiri kawin lebih muda dari itu. Sang Mahatma cemas anaknya menempuh pergulatan batin yang akan memelencengkannya jadi orang suci. Tak aneh jika istrinya menolak cara Gandhi mendidik anak-anaknya: jangan paksa mereka menjadi orang zuhud sebelum waktunya.
Anak-anak melihat pertentangan-pertentangan yang diciptakan para orang tua. Mereka melihat bagaimana orang tua-orang tua membentuk dunia yang mereka inginkan.
Orang-orang dewasa menciptakan mainan, seolah anak-anak adalah bentuk orang dewasa yang lebih kecil. Mereka membuat miniatur traktor, mobil truk, pesawat, dengan harapan anak-anak berimajinasi tentang dunia orang dewasa. Anak-anak tak didorong mencipta mainan-mainan sesuai dengan imajinasinya.
Pilihan, harapan, kebutuhan yang diciptakan, itulah yang membuat hidup kian sempit. Para cerdik-cendikia membuat pepatah: hiduplah dengan mimpi karena mimpi adalah sebermula hidup yang dahsyat.
Betapa ganjil kalimat itu. Mimpi itu bukankah justru akan membatasi kita membuat hidup menjadi dahsyat? Tapi itulah tabiat para orang tua, seperti Daedalus.
Ia khawatir Ikarus, anaknya, celaka karena keinginannya terbang menembus langit dan melihat dunia yang tak bisa ia jangkau dengan dua kaki. Daedalus cemas oleh keinginan anaknya yang mustahil, meski ia toh ikut membantu juga membuat sayap untuk anaknya.
Berhari-hari mereka mengumpulkan bulu angsa, lalu merakitnya. Dengan gagal dan coba-coba, sayap itu jadi juga.
Ikarus pun terbang. Ia memuaskan keingintahuannya, sekaligus menentang kecemasan ayahnya. Lalu ia terbuai. Anak tampan yang selalu ingin tahu ini terus terbang hingga lupa akan ketinggian.
Panas matahari membakar lilin-lilin itu hingga sayap angsanya merotol satu per satu. Ikarus jatuh dan tak tahu jalan pulang. Maka, dalam mitos ini, kecemasan orang tua terbukti. Ketakutan para orang tua mengalahkan imajinasi anak-anak.
Di titik itulah konflik dimulai: setiap anak yang ingin bebas itu terbatasi oleh ketakutan di luar dirinya. Ia akan menyerap ketakutan itu menjadi ketakutan dirinya sendiri, menjadi logikanya sendiri.
Saat jatuh itu Ikarus menemukan kebenaran atas kecemasan dan ketakutan Daedalus. Sejarah logika manusia pun turun-temurun dengan cara itu. Logika Daedalus telah menjadi logika Ikarus. Dan, barangkali, mitos ini juga diciptakan oleh-dan memakai kacamata–Daedalus, para orang tua.
Karena itu, sejarah sering kali terasa berulang. Manusia menempuh kesalahan-kesalahan yang sama, mencari kebenaran-kebenaran yang itu juga.
Pertanyaan paling purba yang terus-menerus bergaung adalah manakah yang benar: sejarah yang menuntun manusia atau manusia yang menciptakan sejarah? Jawabannya mungkin datang dari anak-anak, mereka yang menanggung kecemasan dan ketakutan para orang tua.
*) Kolom di Koran Tempo, 2 Juni 2014.