Wasit bukan pusat perhatian, tapi ia menentukan pertandingan. Ia dipuji jika menguntungkan, ia dicaci jika merugikan tim yang kita dukung.
Wasit adalah tanda hadirnya peradaban dalam sepak bola. Ia bukanlah pusat perhatian di lapangan hijau, tapi keberadaannya menentukan permainan dan membuat kita bisa menikmati pertandingan. Seorang wasit, dengan warna kostum mencolok dan berbeda dengan kostum dua tim yang bertanding, memang ikut berlari ke mana arah bola menggelinding, tapi tak punya hak menyentuhnya.
Ia hakim di lapangan yang keputusannya mutlak. Tak ada hukum apa pun yang bisa menganulirnya ketika peluit telah ia tiup. Richard Mulcaster, seorang guru olahraga di sekolah menengah Merchant Taylor’s, Inggris, ketika mengkampanyekan perlunya wasit dalam pertandingan sepak bola pada 1581, awalnya memang ingin permainan ini sebagai olahraga untuk kebugaran. Karena melibatkan orang dalam jumlah banyak, perlu aturan agar pertandingan tak berakhir rusuh.
Sejak Marco Polo mengenalkan calcio di Italia setelah lawatannya ke Jepang dan menonton kemari pada abad ke-13, sejarah sepak bola Eropa adalah permainan brutal yang tak mengenal aturan. Raja-raja Inggris dan Prancis secara bergantian melarang sepak bola dan meminta gereja mengeluarkan fatwa bahwa ini adalah permainan setan yang dibenci Tuhan.
Mulcaster tampil sebagai penengah konflik raja dan rakyatnya itu. Ia membuat aturan agar fute-ball tak sekadar saling berebut bola di lapangan luas. Mula-mula, ia menganjurkan jumlah pemain dua tim yang bertanding harus sama, perlu gawang sebagai batas dan tujuan permainan, serta orang yang menghitung skor sebagai cikal bakal wasit. Sejak itu, meski sepak bola masih menjadi lambang permainan kaum bawah hingga abad ke-18, sepak bola Inggris mulai tertib.
Kini, aturan-aturan itu kian kompleks dan wasit bertugas menegakkannya. Dengan tensi pertandingan yang tinggi, seorang wasit dituntut tak boleh kecolongan oleh kepura-puraan pemain di tengah gemuruh penonton dan jeli melihat sebuah kesalahan. Pemain yang melanggar disemprit, yang berbuat curang diperingatkan, yang melanggar dengan sengaja dikeluarkan. Seperti hakim, para wasit membuat keputusan dengan mengukur niat para pemain.
Mungkin karena dituntut berkonsentrasi penuh itu wajah para wasit terlihat sangar, serius, dan kaku. Tapi karena peran wasit itulah kita menyaksikan seni di lapangan hijau: manusia berebut bola, beradu cepat, dan mengharmonikan strategi untuk satu tujuan, yakni saling mengalahkan. Dalam Piala Dunia seperti hari-hari ini, sepak bola adalah drama dua babak tentang nasionalisme selama 90 menit.
Ada emosi dan strategi di sana. Di televisi itu kita menyaksikan kelincahan para pemain Cile membantai juara bertahan Spanyol yang kelelahan karena usia dan dipaksa tak bisa mengembangkan tiki-taka. Kesolidan pemain bertahan tim Cile yang dipadukan dengan kecepatan para pemain muda membuat kita menikmati sepak bola sebagai sebuah teater kolosal tanpa skenario.
Di tribune, para penonton bersorak dalam gemuruh yang pekak. Mereka larut dalam emosi kemenangan karena tim yang didukungnya unggul, atau bersedih karena timnya kalah. Dalam sepak bola modern, penonton telah menjadi pemain ke-12, karena perannya menyemangati para pemain untuk menang. Tapi, di sebuah peradaban, seorang wasit tidak perlu takut pulang tak selamat karena setiap keputusannya pasti merugikan satu kubu sekaligus menguntungkan kubu yang lain.
Dan itulah pertandingan. Kata ini mengandung makna bahwa persaingan dan saling menundukkan tetap terbatas pada aturan. Sepak bola, kata Marxis Italia, Antonio Gramsci, menuntut inisiatif, kompetisi, dan konflik, tapi dia dikendalikan oleh peraturan tak tertulis tentang fair play. Wasit menjaga aturan itu tetap tegak dengan kewibawaannya sebagai pengadil agar olahraga ini tetap berada dalam maknanya, yakni “sportivitas”.
Pada akhir pertandingan, kita mengenang gol yang indah, mencatat nama pemainnya, memuji strategi efektif para pelatih, lalu melupakan wasit yang memimpinnya.
*) Kolom Piala Dunia di Koran Tempo, 20 Juni 2014.