PULANG KE DALAM KENANGAN

Twitter
Visit Us
Follow Me
LinkedIn
Share
RSS
Follow by Email

Mudik adalah pulang ke asal untuk mengunjungi kenangan.

 

 

MUDIK barangkali hanya sebuah istilah kepulangan ke kampung halaman di sekitar hari Lebaran.

Hari-hari lain kita tetap menyebutnya pulang, sebuah kata yang kini rancu artinya sebagai kembali ke rumah sehabis kerja dan kembali ke kampung halaman menempuh kenangan-kenangan. Dan bayangan masa kecil menolak imajinasi masa besar: kita terperanjat melihat kampung berbeda dibanding dulu, tanpa sadar cara kita melihat kampung telah berubah menjadi sudut pandang orang kota.

Kini sawah, ladang, dan huma begitu sunyi. Tak ada lagi anak-anak yang berlari riang menggembala kerbau atau sapi. Ladang menjadi hutan atau ditumbuhi alang-alang karena jarang terjamah tangan manusia. Orang desa yang masih setia dengan cangkul dan arit adalah mereka yang berusia 60 tahun ke atas.

Selama mudik Lebaran ini saya berkeliling ke dua bukit untuk mengenang ladang-ladang permainan di kampung. Tak ada satu pun anak muda di sana. Mereka yang bertahan di saung-saung ladang adalah orang-orang tua dengan sisa otot yang keriput, mereka yang bertubuh liat ketika saya masih kanak. Tak ada yang meneruskan mengolah sawah itu, huma itu, ladang penghidupan itu.

Anak-anak muda lebih senang ke Jakarta, ke kota, menjadi buruh bangunan atau berdagang es cincau keliling.

Mereka berhitung sangat praktis. Sebulan berjualan di Jakarta, hasilnya setara dengan penghasilan satu musim palawija, yang membutuhkan tenaga dan perhitungan modal serta musim yang cermat. Berdagang es campur cukup dengan dengkul dan sedikit ongkos bus. Sebab, modal dan peralatan disediakan para “bos” yang menghimpun persekutuan pedagang es keliling, atau mandor yang datang ke kampung mencari tenaga kerja membangun kota.

Praktis sawah-sawah kehilangan tenaga produktifnya. Mereka yang setia menggarapnya akan berpikir dua kali menanam jagung atau kacang karena tak mungkin semua pekerjaan ia lakukan sendiri.

Tak ada orang yang bersedia menjadi buruh yang dibayar untuk menggarap kebun. Dan musim yang bergeser membuat sawah-sawah kekeringan di musim kemarau. Para petani harus memompa dan mengalirkan air dari sumur-sumur dan mata air. Itu artinya butuh bensin untuk diesel, butuh modal yang tak sedikit. Kini tenaga saja tak cukup untuk menggarap sawah.

Saya tak bisa membayangkan apa jadinya desa ini ketika mereka yang masih bertahan menjadi petani kini sudah tak ada lagi. Sawah dan ladang itu mungkin segera jadi hutan alang-alang yang pelan-pelan didiami dedemit dan genderuwo dan menjadi tempat asing bagi bocah-bocah yang kini masih ingusan. Sepuluh atau 20 tahun lagi mereka akan mengikuti jejak ibu-bapaknya mencari hidup di kota-kota.

Dan mereka kembali ke kampung sebagai turis, yang sekadar transit setiap Lebaran, dengan membawa cukup uang untuk membangun rumah, tempat mereka kembali, tempat mereka pulang, setelah kota tak membutuhkannya lagi. Itu artinya, sawah-sawah segera akan menjadi rumah.

Barangkali esai ini juga semacam suara turis, anak hilang yang tercengang setiap kali mudik Lebaran karena menganggap kampung telah berubah, berbeda suasananya dengan keadaan 20 tahun lalu.

Bagaimanapun, saya termasuk dalam arus urbanisasi itu, rombongan yang meninggalkan kampung dengan menganggap kota sebagai masa depan, lalu memaknai “pulang” sebagai sebuah tetirah ke kampung halaman untuk menghidupkan kembali kenang-kenangan.

* Dimuat Koran Tempo, 4 Agustus 2014.

Author: Bagja Hidayat

Wartawan majalah Tempo sejak 2001. Mendirikan blog ini pada 2002, karena menulis seperti naik sepeda: tak perlu bakat melainkan latihan yang tekun dan terus menerus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Enjoy this blog? Please spread the word :)