Anak-anak kampung tak lagi belajar berenang secara otodidak di sungai-sungai berarus deras.
MENYIAPKAN ongkos, berdandan, dan membekali diri dengan sabun dan handuk, mereka menempuh perjalanan jauh agar bisa berenang. Mereka berdesakan di mobil bak terbuka yang mengangkut mereka ke kolam renang di kecamatan. Ketika sungai-sungai kering, orang-orang membangun kolam dengan tiket dan satpam.
Anak-anak yang kehilangan sungai tak lagi bebas beradu tangkas menjajal palung dan oplak. Di kolam buatan itu, mereka menemui kedalaman yang sama dan terukur, seperti kolam renang di kota. Mereka tak belajar bagaimana cara menjelajah. Mereka kehilangan permainan.
Barangkali ini romantisisme, atau ketakjuban mudik Lebaran. Dulu sungai adalah arena menjajal nyali. Kami harus mencuri kesempatan berenang di Cisanggarung yang lebar dan dalam. Kami harus sembunyi dari mata tetangga yang bisa melaporkan keasyikan kanak-kanak kepada orang tua. Mereka takut kami tenggelam atau dimakan buaya.
Buaya mungkin hanya mitos yang diciptakan untuk menakuti anak-anak agar tak berenang ke sana. Sepanjang umur Cisanggarung, kami tak pernah sekali pun melihatnya. Kini sungai itu tak ada lagi. Kering dan gersang. Tak ada tukang perahu yang menyeberangkan orang-orang kampung yang akan ke pasar. Hampir setiap rumah punya sepeda motor. Mereka lebih senang ke pasar atau ke kota menempuh jalan memutar melewati jembatan Belanda. Tapi bukan karena kehadiran sepeda motor, melainkan lantaran perahu tak ada lagi.
Kematian sungai itulah pokoknya. Air memang menghilang dari kampung kami ini. Mungkin karena pemanasan global yang diributkan dunia itu, karena hutan-hutan yang dulu dijaga wangatua dan dedemit dijarah hingga punah, gersang, dan boyak.
Sebelum penjarahan itu, sungai kami pelan-pelan hilang ketika di kampung seberang ada “orang Jakarta” yang membangun pabrik aspal, sekitar 25 tahun lalu. Orde Baru, yang sedang membangun infrastruktur hingga pelosok, membutuhkan pengusaha macam ini. Demikianlah, batu-batu sungai diangkut untuk digiling.
Petani tak lagi ke sawah dan ladang. Mereka menyelam di sungai menggali batu-batu kali yang liat untuk dijual ke pabrik itu. Pasir pun lenyap, sungai jadi dangkal. Yang timbul adalah padas yang licin. Palung-palung menghilang, oplak tumpas. Anak-anak tak lagi punya mainan selepas pulang sekolah, atau memandikan ternak.
Kini mereka melakukan apa yang dilakukan anak-anak kota: bermain PlayStation, berenang di kolam renang porselen, serta ngebut dengan sepeda motor. Tak ada lagi yang bermain gundu atau gasing. Selepas magrib, kampung sepi, anak-anak berkhidmat di depan televisi. Mereka tak mengangeni bulan sambil mendengarkan orang-orang tua bertukar cerita tentang palawija dan legenda, juga takhayul yang paling semprul.
Setiap Lebaran, selalu saya merasa kehilangan sesuatu dari kampung ini. Suasananya, orang-orangnya, bau asap sampahnya. Kini saya merasa seperti orang-orang tua dulu: senang mengenang sungai, lapangan sepak bola, serta kebun buah-buahan yang sudah tak kelihatan bekasnya. Tapi bukankah 20 tahun terlalu cepat untuk membuat kampung ini berubah dan menjadi asing?
*) Kolom di Koran Tempo, 31 Juli 2014.