Jepang mengubah Fukuoka dari kotaterkotor menjadi kota terbersih. Gotong royong industri, masyarakat, dan akademisi.
MENGENANG masa 40 tahun silam membuat bulu kuduk Yoichi Kaminaga berdiri. Dari rumahnya di perbukitan Kitakyushu, ia hanya bisa melihat asap cokelat, hitam, dan merah jika memandang pusat kota. Karyawan pabrik batu bata ini makin bergidik karena harus bersepeda menempuh tiga kilometer jalan berjelaga itu ke tempat kerjanya di Teluk Dokai.
Asap yang memenuhi langit Provinsi Fukuoka di Pulau Kyushu, Jepang bagian barat, itu berasal dari ratusan cerobong pabrik yang berdesakan di teluk yang dijuluki laut mati, karena tak ada hewan dan tumbuhan yang bisa hidup—bahkan bakteri E. coli. Tak hanya asapnya yang menyesakkan, bermacam pabrik yang beroperasi 24 jam itu juga mengeluarkan bau menyengat dan berisik. ”Tercium hingga rumah saya,” kata Yoichi, 69 tahun, tiga pekan lalu. ”Bisingnya bikin sakit kepala.”
Sekolah kerap telat membuka kelas karena murid dan guru harus menyapu debu yang menebal di bangku dan meja lebih dulu. Meski begitu, warga tak peduli dengan polusi yang sudah menyembur sejak 1901 itu. Mereka terbuai oleh kekayaan karena bisa bekerja di pusat industri terbesar di Jepang itu. Apalagi, pada medio abad ke-20, Negeri Matahari Terbit itu sedang membangun ekonomi dan memperkuat tentara dengan senjata.
Sampai 1965, ketika anak-anak sering bolos sekolah karena sakit, air untuk memasak bau dan keruh, serta jemuran pakaian tak pernah bisa bersih dan wangi, para ibu baru sadar mereka tengah menikmati surga di neraka jelaga. Bermula dari kongko ketika para suami bekerja, perempuan-perempuan ini sepakat menyuarakan hak mereka menghirup udara bersih.
Maka dibentuklah Tobata Sanroku, kelompok diskusi ibu-ibu yang ketika berdiri anggotanya hanya 13 orang. Dibantu para profesor dari beberapa universitas, mereka mengkampanyekan kota bersih dan hidup sehat. Tentu saja seruan nyeleneh ini dicibir industri karena dinilai tak sejalan dengan kemajuan ekonomi dan teknologi. Tapi mereka tak menyerah.
Selain berdemo di depan pabrik baja, semen, atau keramik—dan dilihat suami mereka sendiri—atau menyambangi kantor wali kota, para ibu ini membuat film berdurasi 30 menit berjudul Aozora ga Hoshii (Kembalikan Langit Biru Kami), yang menampilkan wajah anak-anak penuh coreng hitam dan air laut seperti kopi susu. ”Kami ingin menunjukkan ini masalah sangat serius yang harus segera disadari,” kata Yoko Yamamoto, 64 tahun, ibu dua anak, warga Distrik Kokura.
Malu dituding tak becus mengurus lingkungan dan melindungi warga, pemerintah dan industri luluh juga. ”Kami tak punya pilihan selain mengikuti gerakan ibu-ibu,” kata Hisato Tanaka, bekas kepala kantor pengendali lingkungan Nippon Steel Corp., seperti dikutip Eco Tour Guide Book of Kitakyushu. Para politikus pun membuat Undang-Undang tentang Penanganan Polusi Udara pada 1968.
Komisi Pengendali Polusi mengumpulkan eksekutif 54 perusahaan untuk membicarakan penanganan limbah. Mereka sepakat berbagi beban. Industri menangani polusi udara, air, dan limbah pabrik, sementara pemerintah membangun saluran pembuangan dan taman kota. Industri setuju mengganti bahan bakar minyak ke gas yang rendah belerang untuk mengurangi sulfur dioksida.
Pada 1974, lumpur di dasar Teluk Dokai seluas 35 hektare digali untuk dibersihkan kandungan merkurinya. Proyek yang memakan biaya 1,8 miliar yen itu (71 persen disumbang swasta) sukses mengembalikan kualitas air di daerah itu kembali layak minum. Menurut Hiroyuki Kajihara, Manajer Divisi Kebijakan Lingkungan Kota Kitakyushu, 804,3 miliar yen (Rp 80,4 triliun) dihabiskan untuk menangani limbah dan polusi selama 1972-1991.
Pemerintah daerah hanya menyumbang 70 persen untuk membangun pelbagai proyek itu, sisanya dari industri. Pada 1967-1978 setidaknya 1.000 alat pembersih debu dibangun di kawasan pabrik seluas 1.554 hektare itu. Hasilnya, debu yang menyembur 100 ton per kilometer persegi pada 1970 turun hingga tinggal seperempat pada 1990. Keberhasilan itu mendorong PBB mengganjar kota ini dengan penghargaan lingkungan.
Tahun lalu pemerintah pusat menobatkan Kitakyushu sebagai model kota ramah lingkungan yang dijadikan tolok ukur pengendalian polusi di 46 provinsi lain di Jepang. Sejak 1980 para ahli dari 133 negara telah datang untuk belajar mengelola polusi. Para sarjana dikirim ke negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk menularkan pengalaman dan cara mengurangi emisi karbon yang tepat.
Di Indonesia, sejak 2004 ada pelatihan mengurangi pencemaran limbah pabrik tahu di Kota Semarang, atau mendaur ulang sampah rumah tangga kepada ibu-ibu di Surabaya. Tahun lalu, Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda meneken pengucuran utang 307,7 miliar yen untuk merehabilitasi hutan, membangun pembangkit panas bumi, dan menangani limbah air. Utang setara dengan Rp 3,07 triliun itu akan dibayar selama 15 tahun dengan bunga 0,15 persen per tahun.
Jepang punya target menurunkan emisi karbon hingga 150 persen untuk seluruh negara di Asia pada 2050. Kerja sama internasional ini merupakan tanggung jawab sosial Jepang sebagai negara industri yang menjadi satu dari lima penyumbang emisi karbon terbesar di planet ini. Di dalam negeri, mereka punya target menurunkan jumlah karbon hingga 25 persen pada 2020 dari 1,07 miliar ton pada 1990.
Semua orang Jepang mengakui ini target ambisius dari pemerintah baru Perdana Menteri Yukio Hatoyama, mengingat jumlah produksi karbon pada 1990-2007 malah bertambah 180 juta ton. ”Dampak perubahan iklim adalah masalah Jepang sangat serius hari ini,” kata Yoshiko Kijima, diplomat dan negosiator senior dalam Konferensi Perubahan Iklim di Denmark pekan ini.
Menurut Bu Kijima, banyak hal telah dilakukan negaranya untuk memenuhi target itu. Kitakyushu hanya satu contoh. Tempo, yang berkeliling ke enam kota tiga pekan lalu, melihat betapa serius pemerintah Jepang—nasional dan daerah—mencapai target ini. Pemerintah provinsi dan kota memiliki berbagai program penurunan efek rumah kaca dengan target yang jelas dan masuk akal, meski banyak program belum massal karena teknologinya mahal, seperti mobil hidrogen atau panel surya.
Kijima mengakui tak mudah menyadarkan masyarakat, terutama industri, agar mau beralih ke teknologi dan sumber energi ramah lingkungan. Kebijakan yang hingga kini memanaskan suhu politik dan ekonomi Jepang sejak 2005 adalah rencana penerapan pajak pemanasan global.
Uang dari pungutan yang dibayarkan berdasarkan jumlah karbon yang diproduksi setiap perusahaan dan rumah tangga ini akan dipakai untuk memelihara hutan, mendaur ulang limbah, membuat taman kota, atau mendesain teknologi baru. Besarnya 2.400 yen (Rp 240 ribu) per ton karbon per tahun. Kementerian lingkungan, yang mengusulkan pajak ini, memperkirakan ada pemasukan sekitar 360 miliar yen jika kebijakan ini diberlakukan.
Industri masih menolak karena merasa insentif belum seimbang dan alasan pengalihan teknologi butuh ongkos tak sedikit. Tapi umumnya masyarakat Jepang setuju. Sebuah jajak pendapat di situs kementerian lingkungan menunjukkan 65 persen responden tak keberatan jika pendapatan mereka dipotong untuk program ini. ”Tak jadi masalah karena ini menyangkut hidup kita di masa depan,” kata Miyako Yoshida, penerjemah profesional warga Tokyo.
Rencana dan kampanye terus-menerus tentang bahaya emisi karbon telah berdampak pada gaya hidup orang Jepang. Menurut Yuuji Kikuta, Direktur Manajemen Lalu Lintas Kota Tokyo, selama enam tahun terakhir jumlah mobil yang beredar di ibu kota Jepang itu berkurang 10 persen dan jumlah penumpang kereta naik 5 persen. Kini mobil yang berseliweran di kota serba mesin berpenduduk 13 juta jiwa itu hanya 2 juta per hari.
Meski sudah kelihatan hasilnya, pemerintah kota dan pusat terus gencar berkampanye agar warga Jepang meninggalkan mobil dan beralih ke sepeda atau jalan kaki. Baru-baru ini ada seruan bike to lunch. ”Kesadaran masyarakat jauh lebih penting ketimbang program apa pun,” kata Shigeru Komori, Direktur Gaya Hidup Kementerian Lingkungan.
Gerakan ibu-ibu di Kitakyushu pada 1960-an ternyata telah mengubah kota seluas tiga perempat Jakarta itu dari abu-abu menjadi biru. Cerobong pabrik hanya menyemburkan asap putih tipis. Orang-orang nongkrong di dermaga menunggu kail disambar ikan Teluk Dokai yang enak dimakan sebagai sushi.
*) Dimuat di majalah Tempo edisi 7 Desember 2009.
Perlu ditiru sekali.