Kata meninggal jadi aneh secara konteks dan makna. Lebih tepat arti wafat itu manunggal.
BAHASA Indonesia punya banyak padanan untuk kata mati: meninggal, wafat, mangkat, koit, modar, kojor, mampus, berpulang. Dari sekian banyak sinonim itu, kata “meninggal” paling problematik.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “meninggal” dibentuk dari kata “tinggal”, yang artinya berdiam. Di sinilah masalahnya. Sebab “meninggal” dalam arti mati tak merujuk pada jasadnya yang berdiam, kaku, tak bernyawa. Malah sebaliknya: “meninggal” merujuk pada roh yang pergi dari tubuh, ke alam lain yang bukan dunia—jika merujuk pada kepercayaan dan agama.
Meninggal, pada lema lain di kamus, bahkan diartikan sebagai “berpulang”, yakni kembalinya roh kepada penciptanya, jika makna ini dirujuk pada kepercayaan akan Tuhan sebagai penyebab alam semesta. Ketika mati, roh kita yang tak mati itu keluar dari dunia kasat mata menuju haribaan sang pencipta. Agama Islam menyediakan istilah dunia setelah semesta adalah alam barzah.
Ucapan-ucapan belasungkawa dari yang hidup kian mengukuhkan bahwa “meninggal” sebagai padanan mati mengacu pada roh yang pergi. Kita mengucapkan “selamat jalan”, “sampai jumpa”, “semoga dilapangkan jalannya dan tabah bagi yang ditinggalkan”, dan lain-lain. Bahkan ucapan “innalillahi wa innaillaihi rojiun”, yang dicuplik dari Surat Al-Baqarah ayat 156, ditujukan untuk mengiringi seseorang yang meninggal dalam kebiasaan muslim, berarti “Sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah dan hanya kepada Allah kami kembali”. Meninggal diartikan sebagai kepergian.
Mengapa kamus menetapkan “meninggal” sebagai bentukan “tinggal” yang artinya bertolak belakang?
Kata “tinggal” jika bergabung dengan awalan, akhiran, atau imbuhan apa pun akan merujuk pada makna berdiam. “Meninggali” jelas tak berpindah. Bahkan “meninggalkan” merujuk pada obyek. Kata ini tak bisa dilepaskan dari obyek yang mengiringinya. “Dia meninggalkan anak-istri demi perempuan kaya itu.” Jika obyeknya, yakni anak-istri, dicabut, kalimat ini rancu dan tak berarti apa-apa. Dalam kamus, “meninggalkan” berarti “membiarkan tinggal”.
Sebelum arsip dikenal secara umum, dalam surat-menyurat, tembusan kerap dipakai istilah “pertinggal”. Ini pun mengacu pada surat yang tak ikut dikirimkan, yakni salinan yang disimpan oleh pembuat surat. Sepeninggal, peninggalan, ketertinggalan, ketinggalan, merujuk pada makna sesuatu yang tak bergerak, yang tak pergi. Hanya pada “meninggal” makna katanya berubah menjadi “yang pergi”.
Saya menduga, “meninggal” sebagai padanan mati diserap secara letterlijk dari istilah Jawa “tinggal donya”. Ketika diterjemahkan ke bahasa Indonesia, istilah ini menjadi “meninggal dunia”. Maka, di media massa, para wartawan selalu menuliskan istilah ini untuk mewartakan kematian. Padahal, “tinggal donya” bermakna “pergi dari dunia” yang subyeknya mengacu pada roh, bukan “tinggal di dunia” yang mengacu pada jasad.
Dengan kesalahan penyerapan seperti itu, kata “meninggal” kian kacau maknanya ketika kamus menyerapnya sebagai bentukan dari kata “tinggal”. Dua kekacauan: “meninggal dunia” menjadi istilah yang lewah jika “meninggal” saja sudah bermakna mati; tapi menuliskan hanya “meninggal” akan keliru karena makna aslinya “berdiam diri”, bukan “pergi”.
Dari kekacauan ini kita jadi tahu bahwa bahasa Indonesia tak cukup kaya menyerap kata bahasa daerah. Atau penutur bahasa Jawa tak mewaspadai polisemi dari sebuah kata yang sama dalam bahasa Jawa dan bahasa Melayu. Arti tinggal dalam “tinggal donya” tak terpenuhi oleh kata “tinggal” dalam bahasa Melayu karena maknanya malah bertolak belakang.
Dalam bahasa Inggris “tinggal” dipadankan dengan “stay”atau “live”, yang merujuk pada “bermukim”, “berdiam”. Dan, tentu saja, “stay” dan “live” bertolak belakang dengan “gone” (pergi). Dalam bahasa Inggris “gone” istilah lain dari “dead” (mati). “He has gone” bisa berarti “Dia telah mati”. Maka “meninggal” jika dirujuk pada kata “tinggal” seperti dalam kamus akan merancukan makna, yang akan membingungkan mereka yang mempelajari bahasa Indonesia.
Karena itu “meninggal” lebih baik dikeluarkan dari lema “tinggal” dan ditempatkan dalam lema sendiri sebagai arti mati, karena jelas bukan itu makna yang dimilikinya. Di media sosial Twitter, ketika saya mempersoalkan kata ini, ada yang menduga “meninggal” berasal dari “manunggal”. Saya anggap ini pendapat yang menarik, karena maknanya mengacu pada kepergian roh dan berdiamnya jasad sekaligus.
Manunggal berarti menyatunya jasad yang mati dengan bumi, dengan asal, yang bisa berarti pula menyatunya roh yang kembali kepada penciptanya. Manunggal, yang kemudian menjadi meninggal, menyatukan dua makna yang tarik-menarik dalam makna “meninggal” yang dibentuk dari akar “tinggal” seperti dalam kamus.
*) Dimuat kolom Bahasa! Majalah Tempo edisi 2-9 Maret 2015.