LEE KUAN YEUW

Twitter
Visit Us
Follow Me
LinkedIn
Share
RSS
Follow by Email

Lee Kuan Yeuw meninggal. Bagaimana kita harus melihat pendiri Singapura ini?

SEORANG kepala perencanaan kota Singapura dicopot dari jabatannya karena diduga korupsi. Segala bintang jasa yang pernah diberikan kepadanya dicabut. Koran The Straits Times yang memuat beritanya tak terang benar menyebutkan apa kesalahan yang pasti pejabat ini. Dan Lee Kuan Yeuw, di tahun 1970-an ketika ia mulai membangun dasar-dasar negara Singapura yang modern, tak perlu harus menyebutkan detail apa kesalahan anak buahnya ini sebelum mencopotnya.

Lee Kuan Yeuw hanya berpatokan pada tekadnya: Singapura tak akan maju jika korupsi terjadi di sudut-sudut kantor pemerintahannya. Kepala Perencanaan itu mungkin tak menerima uang dan tak bisa dibuktikan ia disogok, tapi ia menerbitkan kebijakan yang menguntungkan beberapa pengusaha. Yeuw memecatnya. “Hukuman korupsi itu berat,” katanya. Dan ia tak main-main.

Lee tak hanya menghukum orang yang meludah sembarangan. Kebersihan bukan hanya harus terlihat di jalan dan taman-taman, tapi dari niat jahat yang merugikan banyak orang. Ia membentuk Komisi Penyelidik Korupsi. Direkturnya bekerja langsung di bawahnya. Kewenangannya sangat luas. Tak ada pejabat, bahkan menteri paling senior pun, yang bebas dari penyelidikan Komisi ini. Para investigator bekerja sama dengan dinas pendapatan memantau kebocoran dan pelbagai kebocoran. Lee memang tak menitikberatkan pada sanksi, ia fokus pada mencegah pejabat dan pegawai pemerintah menilap uang negara.

Dan ekonomi Singapura pun melaju dengan kecepatan yang tak bisa diikuti negara Asia lainnya. Dengan kepongahan intelektualnya, Lee fokus pada tujuannya memajukan Singapura. Sikap yang menuntunnya bersikap keras kepada oposisi dan kelompok yang mengkritiknya. Bagi pendukung demokrasi, sikap Lee memang kurang menyenangkan: pemimpin yang dipilih orang kebanyakan belum tentu bisa menyenangkan semua orang. Tapi pemimpin yang bisa membuat setiap orang tenang dan kenyang, mungkin disayang sebagian besar rakyatnya.

Dan Lee keras kepada dirinya sendiri. Ia tak bergaya dan menghimpun kekayaan untuk dirinya dan keluarganya.

Singapura mungkin bisa membuat pemimpin seperti Lee bisa fokus dan efektif. Atau mungkin karena Singapura negara yang beruntung. Ketika diambil alih dari Inggris, ekonomi Singapura sedang stabil dan bagus. Tapi bisa juga kita pahami bahwa wilayah mungkin bisa tak jadi soal bagi pemimpin-pemimpin macam dia. Kecilnya Singapura justru yang menjadi dasar kepemimpinan Lee. Tak punya apa-apa kadang membuat orang bisa fokus. Seperti Lee mengejar fokus agar Singapura didengar dan dihormati negara lain. Untuk mencapainya, ya, tekun mencapainya.

Ia tak berpatokan pada satu ideologi. Lee lebih memilih membuat dasar-dasar Singapura dengan kesepakatan bersama. Ia mungkin lebih “Barat” ketimbang “Timur”. Ia memulainya dari memerangi korupsi. Sebab korupsi bisa membuat orang lupa pada tujuan bersama, sebagai “modal sosial”, mencapai tujuan dan kesepakatan bersama itu. Korupsi bisa melemahkan semangat setiap orang satu sama lain. Korupsi membunuh segalanya.

Dalam pidato beberapa hari setelah Malayasia melepaskannya, pada 9 Agustus 1965, Lee mengatakan bahwa ia akan membangun Singapura berdasarkan etnis. “Ini negara multiras. Ini bukan negara Melayu, negara Cina, atau negara India,” katanya. Dan ia mempersatukan Singapura menjadi sebuah bangsa kendati dihuni oleh pelbagai orang yang berbeda warna kulit. Pendeknya, Lee yang Cina tapi sejak kecil berbahasa Inggris dan menghabiskan masa remaja di Cambridge bisa menggerakkan pikiran setiap orang agar berpikir dan bertindak untuk suatu akhir yang sama. Dan ia memberi contoh.

Contoh yang tak bisa kita temukan di negeri ini. Kita memang punya Komisi Pemberantasan Korupsi. Tapi keberadaan lembaga ini lebih banyak dicurigai sebagai kepanjangan tangan penguasa ketimbang didukung. Bahkan para politisi memusuhinya. Walaupun bisa dilihat jika politisi memusuhi lembaga macam KPK, lembaga itu sudah bekerja di jalur yang benar. Politik sering kali jadi sumber korupsi. Dan kita tak punya seorang Indonesiawan, orang seperti Lee Kuan Yeuw yang disebut “Singapurawan Nomor 1” yang pasang badan untuk segala penghalang yang memungkinkan menghambat tujuan ia mendirikan Singapura.

Di atas kertas kita memang sudah sepakat bahwa korupsi itu merusak tujuan kita bernegara. Tapi slogan ini belum menjadi modal sosial yang bisa merekatkan pikiran dan tindakan seluruh rakyat Indonesia, yang multietnis dan luas ini. Tapi, tentu saja, kita tak boleh pesimistis dengan hidup yang sumpek. Kita masih bisa berharap pemimpin KPK yang sedang diseleksi itu seorang hebat yang bisa meluruskan kembali tujuan Indonesia didirikan.

Lee Kuan Yew meninggal di usia 91 pada 23 Maret 2015 karena pneumonia. Ia bisa menjadi teladan kita dalam soal keras kepala membuat orang banyak bahagia.

Foto: Tribun Jateng

Author: Bagja Hidayat

Wartawan majalah Tempo sejak 2001. Mendirikan blog ini pada 2002, karena menulis seperti naik sepeda: tak perlu bakat melainkan latihan yang tekun dan terus menerus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Enjoy this blog? Please spread the word :)