Di Jepang oposisi dibentuk dengan sengaja agar ada kontrol kepada partai yang berkuasa.
MENTERI Perekonomian dan Kebijakan Fiskal Jepang, Akira Amari, mengundurkan diri setelah berkala Shukan Bunshun menulis ia menerima 12 juta yen atau setara Rp 1,2 miliar dari sebuah perusahaan konstruksi. Amari sudah menyangkal berita itu, namun mengakui stafnya yang menerima “uang terima kasih” tersebut.
“Dengan mempertimbangkan tanggung jawab sebagai anggota parlemen, anggota kabinet dan harga diri sebagai politikus, saya mengundurkan diri mulai hari ini,” kata Amari dalam sebuah jumpa pers pada Kamis, 28 Januari 2016.
Bagi orang Jepang, pengunduran diri seorang pejabat adalah hal biasa. Bahkan untuk sekelas Amari, orang kepercayaan Perdana Menteri Shinzo Abe yang menjadi perumus “Abenomics”, julukan untuk strategi menjadikan ekonomi Jepang terdepan setelah lolos dari deflasi.
Amari juga negosiator utama dalam Kerjasama Trans Pasifik. Ia akan berangkat ke Selandia Baru untuk meneken kerjasama itu. Dan ia kini mundur, meski PM Abe menginginkan ia bertahan.
Shukan Bunshun, majalah sejak 1923 yang berpengaruh di Tokyo, menulis kesaksianseorang pejabat di kantor Amari bahwa ia telah diperintahkan oleh orang paling berpengaruh di kantor Menteri Perekonomian untuk meminta kompensasi proyekinfrastruktur dari perusahaan konstruksi sejak 2012. Jaksa penuntut umum di Distrik Tokyo berpendapat bahwa transaksi itu kemungkinan ada unsur pidananya.
Amari lalu merasa malu dan mundur. Ia sungguh menampar tabiat politikus Indonesia: jangankan baru ditulis lalu mundur, sudah masuk KPK pun kalau tak dipaksa undang-undang, para koruptor itu masih bertahan di jabatannya, atas nama asas praduga tak bersalah.
Apa yang dilakukan Amari dan orang Jepang mungkin tak masuk akal bagi kita, orang Indonesia. Ketika bertemu seorang diplomat senior Jepang di Jakarta, saya tak tahan menanyakan soal ini: apakah bagi orang Jepang tuduhan yang belum “in kracht” itu sudah membuat mereka malu? Dan apakah hanya karena malu mereka melepaskan kekuasaan yang dibangunnya sejak lama?
Diplomat ini mengatakan bahwa malu hanya salah satu alasan saja. Semua ada perhitungan politiknya. Jika Amari bertahan, oposisi akan semakin punya bahan menyerang pemerintah Abe dari Partai Liberal Demokratik. Tentu serangan itu membuat kinerja kabinet tak efektif. Dan, yang terpenting, serangan itu bisa menurunkan popularitas Partai Liberal, juga popularitas Amari sendiri.
Publik Jepang yang sudah melek setidaknya tak memilihnya lagi dalam pemilu mendatang jika ia tak mundur akibat berita dan serangan-serangan oposisi, meski belum tentu juga jaksa menindaklanjuti laporan majalah itu dan membuktikan ada suap. Dengan mundur, serangan politik akan mereda.
Pendeknya, berita tentang suap justru membuat karir politik Amari kemungkinan besar hancur jika bertahan. “Dengan mundur dan ia maju lagi masih ada kemungkinan terpilih, karena orang sudah lupa,” kata diplomat ini. “Itulah gunanya ada oposisi.”
Kalimat terakhir ini yang membuat saya rada tersedak. Oposisi. Dan itulah gunanya ia. Fungsinya untuk menumbuhkan rasa malu para politikus yang berkuasa. Rasanya, pas benar dengan apa yang terjadi di Indonesia hari-hari ini, ketika hampir semua partai yang menentang Presiden Jokowi kini rame-rame merapat mendukungnya.
Jika Jokowi jadi merangkul Golkar dan PAN dan PKS ke kabinet, ia tak ada bedanya dengan SBY yang mengusung koalisi gemuk demi “jalannya program pemerintah”. Jokowi melupakan janjinya sendiri yang akan “kerja, kerja, kerja” dengan koalisi ramping saat pemilu lalu. Dan, yang lebih penting, koalisi gemuk itu akan menghilangkan “oposisi” untuk mengontrol kebijakannya.
Sebab, seperti di Jepang, oposisi ternyata sangat penting. Dengan segala kecerewetan dan kegaduhan yang ditimbulkannya, politikus dan partai oposisi diperlukan agar partai yang berkuasa tak sembarangan membuat kebijakan dan tak bebal ketika diberitakan korupsi.
Juga agar ada suara lain yang menjadi rem bagi hasrat kekuasaan yang acap kebablasan. Kekuasaan itu candu, kata orang, maka ia perlu dikendalikan. Kekuasaan itu cenderung korup, kata orang bijak yang lain, karena itu ia harus sering diingatkan.
Demikianlah oposisi dalam demokrasi yang benar dan beradab, juga niat berpolitik untuk kemaslahatan orang banyak. Media juga pada akhirnya akan memberitakan kabar-kabar yang terverifikasi karena implikasinya bisa begitu kuat. Alih-alih menggugat redaksi Bunshun yang belum tentu benar memberitakan, Amari mundur.
Menurut diplomat itu, logikanya sederhana juga. Jika jaksa tak mengusut, paling tidak Amari sudah menunjukkan sebagai politikus yang bertanggung jawab sehingga bisa maju lagi dalam pemilu. Jika jaksa mengusut dan terbukti ada suap, ia tak terlalu malu karena mundur saat masih menjabat menteri. Logika sederhana yang lempeng inilah yang, kata diplomat ini, mendasari laku politik di negaranya.
Di Indonesia, menjadi oposisi agaknya sekadar karena tak kebagian kekuasaan belaka. Mereka yang diberitakan korupsi, bahkan dengan bukti transfer, tak takut kehilangan popularitas karena pemilih gampang lupa dan bisa disuap dengan uang sekali makan. “Aku tak berkuasa maka aku jadi penentang”. Karena itu usia oposisi hanya sebatas ketika tak ada peluang mengambil kekuasaan.
Anekdot para politikus adalah “oposisi harus tahan miskin”. Sebab, dengan berada di luar pemerintahan, partai politik tak mendapat setoran proyek. Dengan tak berkuasa, para politikus tak mendapat keuntungan dari upah membagi-bagi proyek ke banyak orang lain saat membahas anggaran.
Karena itu, meski presiden dan politikus kini dipilih langsung, kita tak pernah mengenal partai yang benar-benar menjadi oposisi, yang mengkritik kebijakan pemerintah dengan argumen yang kuat, yang menyodorkan kebijakan alternatif atas dasar untuk kebaikan publik. Para penentang kini hanya sekadar riuh karena alasannya seringkali malah bertentangan dengan logika dan akal sehat, lalu diam-diam ikut korupsi juga.
*) Tulisan ini juga dimuat di Indonesiana Tempo.