Cerita seorang LGBT di kampung saya.
SETIAP kali kita riuh bercakap tentang LGBT, saya teringat Mang Caswat. Sepanjang bisa mengingat, ia adalah perempuan dalam tubuh laki-laki. Usianya mungkin sekarang 60. Ia punya penis dan tak punya payudara. Menurut orang-orang tua yang menyaksikannya, penisnya itu disunat ketika kecil. Dan ritual lelaki itu berhenti sampai sana. Hidup Mang Caswat berikutnya sebagai perempuan.
Saya melihatnya jika ia menyunggi tampah berisi baju dan celana yang dijajakan keliling kampung. Cara jalannya gemulai dan tubuhnya begitu ramping tanpa lemak di pinggang dan pantat sedikit menonjol. Rambutnya merah mayang yang digelung karena panjang. Meski jarang bicara, suaranya halus dan seolah tak punya pita suara, seperti umumnya laki-laki dewasa. Kulitnya juga halus, kuning langsat untuk ukuran lelaki kampung yang intim dengan matahari.
Kami, anak-anak pada 30 tahun lalu, akrab dengan sosoknya yang seperti itu. Kami tak pernah menyoal penampilan Mang Caswat. Dalam pemahaman orang kampung yang sederhana, Mang Caswat adalah perempuan yang ditakdirkan hidup dalam tubuh laki-laki. Jadi tak ada beda antara ruh laki-laki dalam tubuh laki-laki atau ruh perempuan dalam tubuh perempuan. Mang Caswat adalah bagian dari penduduk kampung ini, yang turun temurun hidup di sana. Kami menganggap begitulah maunya Gusti Alloh terhadap manusia yang oleh ibu-bapaknya diberi nama Caswat.
Jika ada tandur, pemilik sawah mengundangnya menanam padi. Jika musim mencangkul untuk palawija, Mang Caswat juga menjadi buruhnya. Ia hidup sendiri hingga hari ini. Dari ibu, saya dengar ia kini bisa mengumpulkan modal dan membeli tape stereo yang ia sewakan bagi penduduk yang menggelar hajatan.
Mang Caswat juga agaknya tak ingin menegas-negaskan diri sebagai laki-laki atau perempuan. Ia tak mengganti namanya menjadi, misalnya, Caswati atau Casiwen atau nama-nama perempuan lain. Ia tetap Caswat dan bersedia dipanggil Mang meski berpenampilan perempuan. Ia satu-satunya waria di kampung saya. Saudara-saudaranya menjadi laki-laki atau perempuan dan beranak pinak berkeluarga sendiri-sendiri.
Dengan ingatan panjang kepada Mang Caswat itu, saya terkejut ketika kini ada yang bilang bahwa menjadi gay atau lesbian dan waria disebabkan virus yang menular lewat pergaulan. Saya kira tak ada prototipe waria di kampung saya yang bisa dicontoh Mang Caswat. Sepanjang ingatan, tak ada waria lain selain dia, sebelumnya.
Ia bergaul sejak kecil dengan lelaki atau perempuan yang oleh orang-orang digolongkan “normal”. Ia hidup seperti umumnya hari-hari yang rutin orang lain di kampung saya. Tanpa kejutan, nyaris tak ada gelombang. Tak ada yang menularinya, dan ia tak menulari orang lain menjadi sepertinya. Saya, misalnya, meski mengobrol dan berpapasan dengannya sejak kecil tak punya selera pada laki-laki sampai sekarang. Saya tetap bergairah kepada perempuan dan tak kepingin ikut-ikutan Mang Caswat menjadi perempuan.
Dari ibu, saya dengar juga cerita tentang Soni, anak lelaki 18 tahun yang kemana-mana merias wajahnya dengan make-up, memanjangkan rambut, dan memakai rok, sejak kelas 6 SD. Ia bermain dengan perempuan meski tetap dengan nama lelakinya. Apakah Mang Caswat menularinya? Mereka hidup di zaman berbeda dan rumah mereka berjauhan. Saya ragu juga apakah Soni mengenal Mang Caswat yang pendiam dan cenderung menyendiri.
Perlakuan orang kampung sama belaka terhadap Soni. Tak ada yang meledek dan menertawainya jika ia keluar rumah memakai gincu tebal. Dan Soni kelihatannya berbahagia dengan penampilannya itu. Ia tak canggung nongkrong dan jalan-jalan sore bersama gadis-gadis lain. Seperti Mang Caswat, ketika ke musala mereka bersarung dan memakai peci karena Pak Ustaz memintanya seperti itu.
Maka apakah menjadi gay dan lesbian atau waria adalah hasil penularan? Saya cenderung memahami pemahaman orang kampung yang melihat Mang Caswat sebagai “maunya Gusti Alloh”, yang dikukuhkan surat dari Asosiasi Psikiatri International di link ini….