LEAD, PERTARUHAN PENULIS

Twitter
Visit Us
Follow Me
LinkedIn
Share
RSS
Follow by Email

Cara menulis lead atau pembuka tulisan. Ia semacam pintu masuk di toko baju: harus mudah dibuka.

Lead atau pembuka tulisan tak hanya paragraf pertama. Ia bangunan pengantar sebuah pokok soal dalam sebuah artikel. Jika judul seperti etalase pada sebuah toko, lead adalah pintu masuk ke dalam toko itu. Seorang calon pembeli, yakni para pembaca, akan tertarik membeli sebuah baju karena melihat etalase. Pemilik toko yang baik menyusun etalase untuk menggiring calon pembeli itu masuk ke dalam toko lewat pintu yang tak terkunci.

Kurva tulisan.


Lead karena itu harus mudah dibuka, tidak alot, membujuk calon pembeli memasukinya, hingga mereka memilih sebuah baju dan bertransaksi di kasir. Setelah membayar, para pembeli harus dipaksa melihat-lihat barang lagi dan membeli lagi. Begitulah idealnya sebuah tulisan, sebuah toko, yang membujuk dikelilingi terus oleh para pembelinya. Begitu pula fungsi etalase, tujuan akhirnya membuat setiap orang bertransaksi di kasir.


Karena itu lead adalah pertaruhan para penulis. Jika ia gagal membujuk, pembaca tak akan memasuki keseluruhan tulisan, alih-alih mencerna, mengunyah, menerima atau menolak, ide/opini yang menjadi gagasan penulisnya. Maka lead harus dibuat semenarik mungkin.

“Menarik” memang terkesan klise, karena begitulah memang seharusnya sebuah tulisan. Agar tak abstrak, ukuran lead yang menarik adalah ia menjadi setting sebuah tulisan. Pembaca tahu sejak paragraf pertama apa yang ingin disampaikan penulis dalam sebuah artikel. Karena ia sebuah pintu, lead menerangkan dengan jelas ide pokok yang akan dijabarkan oleh penulis itu. Dari situlah pembaca akan menguntit terus selapis demi selapis ide penulis hingga pembaca tak merasa telah melahap seluruh artikel.

Karena itu sebuah lead disebut gagal jika ia tak bisa menjadi tempat ide pokok dari sebuah tulisan. Para penulis sering kali membuat sebuah tulisan secara kronologis. Ini bagus karena pokok pikiran akan runut. Tapi cara seperti ini sering menjebak karena lead tak menjadi setting yang mendudukkan pokok soal sejak mula. Dan menulis kronologis biasanya mudah. Tulisan yang mudah dibuat biasanya tak mendalam.

Maka sebaik-baiknya menulis dimulai dari tengah. Lead menjadi semacam puncak atau klimaks dari sebuah tulisan yang membetot pembaca mencari awal dan akhirnya lewat ketegangan (suspens) yang dibangun untuk menemukannya. Karena itu unsur sebuah tulisan adalah flashback, selain narasi, deskripsi, kutipan, kilas balik, humor, opini.

Dengan narasi, sebuah ide dipaparkan. Dengan deskripsi sebuah ide dibumikan, barangkali dengan analogi. Kutipan membuat artikel punya wajah karena ia jadi memiliki tokoh. Kilas balik membuat cerita jadi berkonteks, humor agar cerita tak garing, dan opini membuat sebuah tulisan jadi bernyawa dan bertenaga—sebab adanya sebuah ide menjadi alasan utama sebuah artikel ditulis.

Persoalannya, lead sering kali sulit disusun ketika kita sudah siap menulis. Kita tertubruk bahan sehingga bingung memilah dan memilih pokok soal mana yang akan dijadikan pembuka. Maka buatlah outline atau kerangka tulisan. Bagi mereka yang terbiasa menulis, outline seringkali terbentuk di kepala ketika menemukan sebuah ide yang layak ditulis atau melihat dan mendengar sebuah peristiwa yang memancing sebuah ide dan opini.

Bagi penulis pemula, sebaik-baiknya outline adalah dituliskan. Ketika membuat outline kita jadi tahu seberapa jauh bahan yang kita punya. Outline menuntut bahan diserakkan. Dan menulis pada dasarnya menyusun bahan yang terserak itu menjadi sebuah artikel. Bagaimana menyusunnya? Kembalikan pada angle atau sudut pandang penulis terhadap sebuah peristiwa atau ide.

Angle adalah cara penulis melihat masalah yang ia tuliskan. Sebuah tulisan mesti memiliki masalah karena ia alasan kita menulis. Ada banyak sudut padang kita menulis masalah itu. Pilih yang paling relevan dan dekat dengan pembaca. Menulis gempa besar Ekuador dan Jepang, misalnya, salah satu anglenya bisa “gempa besar mengintai Indonesia”. Masalah dari angle tersebut adalah faktor-faktor geografi Ekuador dan Jepang yang mirip dengan Indonesia sehingga gempa besar bisa mungkin mengancam Indonesia ketika dua negara itu juga sedang dihumbalang lindu. Sehingga gempa Ekuador dan Jepang hanya sebagai peg (cantelan) kita menulis gempa di Indonesia.

Karena itu angle juga menjadi pijakan sebuah artikel. Dari situlah titik keberangkatan penulis. Tentukan sebuah angle dengan pertanyaan berbekal 5 W 1 H. Sebaik-baiknya angle dirumuskan dengan pertanyaan. Misalnya, “Akankah gempa juga menggoyang Indonesia setelah Ekuadot dan Jepang?

Angle membantu penulis mengumpulkan bahan-bahan untuk menjawab pertanyaan itu. Pada dasarnya, tulisan adalah jawaban atas pertanyaan besar dalam angle yang ditetapkan penulis tersebut. Dalam outline bahan yang relevan dan tak berhubungan akan terpantau sehingga penulis bisa membuang atau mengelompokkannya. Bahan paling relevan dan menarik sebagai jawaban angle akan disiapkan sebagai pembuka.

Jika berhasil menyusun bahan yang relevan dan menarik sesuai angle, artikel semestinya sebuah tulisan yang fokus. Fokus adalah syarat utama keberhasilan sebuah artikel. Sebab fokus akan mendorong penulis menulis masalah secara ringkas dan jelas. Ringkas dan jelas adalah rukun utama sebuah artikel. Ringkas menjelaskan, jelas memaparkan.

Maka sebuah tulisan akan terbentuk dari proses ini:

Menulis pada dasarnya menyusun struktur ini:

Alur menulis artikel.

Judul lebih baik dibuat terakhir agar ia mencakup seluruh ide dalam tulisan itu.

Karena lead sebuah setting ia mengandung dimensi waktu, ruang, dan tokoh. Tiga unsur ini (When, Where, Who) membuat setting tulisan menjadi jelas. Soal What, Why, dan How dijelaskan di sekujur tulisan karena itu adalah isi dari sebuah artikel. Narasi kita adalah menjawab enam pertanyaan dalam rumus klasik ini.

Jika setelah membaca paparan ini masih bingung, coba tips yang dibuat Putu Wijaya, wartawan Tempo yang lebih terkenal sebagai sutradara film dan teater serta penulis novel dan ratusan cerita pendek. Saya kutip ceritanya dari Amarzan Loebis, teman sekerjanya di majalah Tempo, yang kini menjadi redaktur senior di majalah itu.

Hampir semua tulisan Putu Wijaya dibuka dengan lead yang tak diduga-duga. Rupanya karena ketika menulis, Putu tak memikirkan lead atau strukturnya. Ia menuliskan apa saja sebagai pembuka lalu merangkainya terus sehingga tulisan menjadi utuh dan lengkap. Setelah selesai ia hapus alinea pertama.

Tentu saja cara ini dipakai bagi penulis yang kesulitan membuka tulisan dan baru lancar setelah masuk ke alinea kedua. Biasanya, memang, alinea pertama sulit dibuat, tapi kita lancar menulis berikutnya jika sudah melewati alinea dua. Sebab pada alinea ketiga biasanya kita baru memasuki pokok soalnya. Di situlah baru muncul keasyikan menulis.

Apabila paragraf pertama dihapus, pembaca akan langsung memasuki tulisan dengan tahap yang sudah asyik dalam menulisnya itu. Dengan demikian sesungguhnya Anda telah mulai menulis dari tengah.

Jika keranjingan, terus saja menulis sampai semua bahan masuk. Setelah selesai tinggalkan. Ketika kita kembali menghadapi artikel itu, kita berperan sebagai editor yang akan menyelaraskan ide, koherensi, menemukan salah logika, menyesuaikan jumlah karakter, menyelaraskan ide pokok dengan anglenya. Editor yang baik membuat sebuah tulisan menjadi kompak sejak judul, lead, batang tubuh, koherensi antar paragraf hingga penutup.

Contoh di bawah ini adalah lead yang komplit. Diambil dari majalah Tempo edisi 16 November 1991 artikel berjudul “Dengan Pil Pahit Kapitalisme”.

DI tepi Sungai Neva, sore itu, sekelompok pengamen Rusia memainkan lagu America, The Beautiful. Mereka tujuh orang pemusik setengah baya berbaju kumuh yang mencoba bertahan di udara basah Kota St. Petersburg di awal November. Di dekat itu, ada satu bis turis Amerika yang parkir. Di dalamnya, sejumlah wisatawan tua yang takut udara dingin. Begitu musik tiup itu berhenti, pintu belakang bis terbuka, dan seorang kakek gemuk turun berkata dengan logat New York, “Saya mau kasih mereka uang.” Ia meletakkan sepuluh rubel di kotak penadah derma. Lalu band pun melagukan The Star Spangled Banner.

Sejak judul pembaca sudah tahu hendak membicarakan apa tulisan ini. Arahnya kian jelas begitu membaca paragraf pembuka ini: pil pahit kapitalisme itu terjadi di Rusia pada bulan November setelah Uni Soviet yang komunis runtuh. Alinea ini lengkap memuat “who, when, where, how” dengan deskripsi yang menyentak karena mengisahkan sebuah peristiwa yang kontradiktif: lagu Amerika (yang kapitalis) dinyanyikan orang Rusia (yang komunis), tentang turis Amerika yang memberi receh (karena kapitalis ia kaya) kepada orang Rusia (yang miskin karena komunis).

Ada banyak jenis lead yang bisa dipakai dalam menulis, seperti lead deskriptif, lead kutipan, lead pertanyaan, lead ringkasan, dst. Lead ringkasan jarang dipakai karena mengesankan penulisnya putus asa. Seperti contoh di bawah ini yang diambil dari artikel majalah Tempo edisi 24 Juli 2017 berjudul “Kegentingan Memaksa Setelah 212”.

BERAKHIR sudah Hizbut Tahrir Indonesia. Organisasi kemasyarakatan Islam yang menyerukan pendirian khilafah islamiyah selama 23 tahun itu resmi dibekukan izinnya oleh pemerintah pada Rabu pekan lalu.

HTI menjadi organisasi pertama yang termakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan. Karena aktivitasnya, organisasi yang didirikan mahasiswa Institut Pertanian Bogor itu dianggap anti-Pancasila. “Karena sudah menjadi gerakan, ia melanggar perpu itu,” kata Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin pada Kamis pekan lalu.

Tulisan ini dibuka dengan ringkasan karena isinya menyajikan kilas-balik penyusunan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan. Tapi kita gagal menangkapnya karena yang tampak segera adalah kabar dan akhir dari artikel ini yakni “dibubarkannya Hizbut Tahrir Indonesia”. Tak ada lagi misteri yang membuat kita meneruskan membaca artikel ini.

Jika ingin memakai lead ringkasan, kita perlu memikirkannya betul agar tak mubazir. Misalnya: Kini sudah ditemukan sebuah teknologi yang membuat laki-laki bisa melahirkan. Ini lead kesimpulan tapi tetap menarik sebagai pertaruhan pembuka tulisan karena ada misteri yang mendorong kita menuntaskan artikel tersebut.

*) Perluasan bahan kelas menulis di Forum Nulistik Tempo Institut, 15 April 2016.

Author: Bagja Hidayat

Wartawan majalah Tempo sejak 2001. Mendirikan blog ini pada 2002, karena menulis seperti naik sepeda: tak perlu bakat melainkan latihan yang tekun dan terus menerus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Enjoy this blog? Please spread the word :)