POLITIK, MEDIA, DAN PARA PERUMUNG

Twitter
Visit Us
Follow Me
LinkedIn
Share
RSS
Follow by Email

Di Jepang, tak ada perumung (buzzer) yang mengotori peta politik. Malu dahulu, kalkulasi politik kemudian.

Pada Januari lalu Menteri Perekonomian Jepang Akira Amari mundur. Pemicunya berita di majalah Shukan Bunshun yang menyebutkan ada suap dari perusahaan kontraktor di kantor Amari. Tanpa mempermasalahkan kebenaran berita itu, Amari meletakkan jabatan meski ia sedang menyiapkan bahan perundingan Trans Pasifik di Selandia Baru.

Tak ada keributan yang masif di media sosial Jepang tentang apakah Amari perlu bertahan atau mundur setelah berita itu terbit. Tak ada perang cuitan, tak ada para perumung (buzzer) media sosial yang membelanya mati-matian dan menyerang Shukan Bunshun sebagai penyebar fitnah.

Jika membandingkan dengan standar berita di Indonesia, kabar suap itu baru sebatas informasi. Shukan Bunshun mengutip seorang pejabat senior di kantor Amari yang disembunyikan identitasnya, yang menyatakan bahwa ia telah diperintah oleh orang paling berpengaruh di kantor Kementerian Perekonomian untuk meminta kompensasi proyek infrastruktur yang dikerjakan kontraktor itu. Sejak 2012, akumulasinya sebesar 12 juta Yen atau Rp 1,2 miliar.

Tak ada detail pemberian uang, tak disebutkan juga siapa yang memberinya, kapan, dan apakah masih ada uang lain yang belum diberikan. Tapi itu telah menjadi dasar Menteri Amari mundur. Alih-alih bersembunyi dan depensif, Amari mengakui bahwa uang tersebut diterima sekretarisnya. Tapi ia ambil alih konsekuensi. “Dengan mempertimbangkan tanggung jawab sebagai anggota parlemen, anggota kabinet, dan harga diri sebagai politikus, saya mengundurkan diri mulai hari ini,” katanya dalam sebuah jumpa pers pada 28 Januari 2016.

Bagi cara-pikir Indonesia, keputusan Amari itu tak masuk akal dan berlebihan. Di sini kita terbiasa melihat dan mendengar pejabat atau politikus yang bahkan sudah berstatus tersangka hukum sekalipun masih memimpin organisasi publik, menduduki jabatan publik, senyam-senyum seusai diperiksa aparatus hukum, bahkan ada yang kembali mencalonkan jadi kepala daerah sekeluar dari penjara. Amari-san baru diberitakan ada suap di kantornya sudah malu dan mundur.

Sewaktu bertemu dengan seorang diplomat senior Kedutaan Jepang di Jakarta di sekitar peristiwa itu, saya tak kuat bertanya soal ini. Apakah terlalu besar “kemaluan” orang Jepang sehingga bisa dengan gampang mundur dari jabatan publik karena sebuah berita yang belum diuji keberannya oleh hukum? Diplomat itu tersenyum. Kata dia, malu hanya salah satu unsur saja, semua ada hitungan politiknya.

Malu dahulu, kalkulasi politik kemudian. Jika Amari bertahan, oposisi akan makin leluasa menyerang pemerintahan Perdana Menteri Shinzo Abe dari Partai Liberal Demokrat. Dengan serangan, kinerja kabinet tak akan efektif. Jika kerja tak efektif, Partai Liberal akan kehilangan popularitas. Dengan mundur, serangan politik akan mereda dengan sendirinya. Partai dan Amari terselamatkan di masa mendatang.

Sehingga dengan adanya berita suap dan ia tetap menjadi menteri, justru karir politik Amari terancam. “Orang akan ingat terus dengan kasus itu sehingga kemungkinan ia tak terpilih lagi dalam pemilu berikutnya,” kata diplomat ini. Masuk akal! “Itulah gunanya oposisi.”

Saya tambahkan, itulah gunanya media massa. Ia mengontrol kekuasaan, menjadi “anjing penjaga”. Karena kekuasaan, di manapun, cenderung korup. Publik selalu tak pernah tahu 100 persen kelakuan asli para politikus. Selalu ada sisi gelap yang tak terlihat dari setiap politikus karena ia punya kuasa dan dekat dengan sumber uang. Dan wartawan, secara naluriah, akan selalu skeptis dan curious terhadap apapun, apalagi pada kekuasaan.

Lalu apakah media selalu benar dan bagaimana mengadilinya? Wartawan juga manusia yang tak luput dari kesalahan. Di Indonesia, gerakan reformasi menghasilkan Dewan Pers. Dialah badan independen, yang anggotanya dipilih secara independen juga, yang bertugas menilai dan menengahi sengketa pers. Jika Amari merasa berita Shukan Bunshun hanya bualan belaka, ia bisa datang ke lembaga semacam itu di Tokyo.

Di Dewan Pers berita itu akan dinilai, secara faktual, ditelisik motif wartawannya, dan prosedurnya. Dalam Kode Etik, wartawan Indonesia diwajibkan untuk independen, menghasilkan berita akurat, berimbang, dan tak beritikad buruk. Dewan Pers akan menilai sebuah liputan dari empat hal itu. Semua itu bisa dinilai secara kualitatif maupun kuantitatif.

Sanksi dari Dewan Pers bisa macam-macam. Tempo pernah diharuskan memuat ulang sebuah tulisan 10 halaman karena salah deskripsi, tak sekadar ralat pada kalimat reportase yang dianggap keliru, karena Dewan Pers menilai kalimat tersebut mempengaruhi seluruh tulisan.

Maka jika Gubernur Basuki Tjahaja Purnama, seperti dikutip CEO Cyrus Network Hasan Nasbi dalam dikusi “Ahok dan Reklamasi” di kantor Tempo beberapa aktu lalu, tak percaya Dewan Pers karena pasti berpihak pada media, sudah tentu keliru. Menurut anggota Dewan Pers Imam Wahyudi, 80 persen pengaduan ke lembaganya berakhir dengan vonis terhadap media itu.

Reformasi juga menghasilkan Undang-Undang Pers yang memperlakukan jurnalis dan media secara khusus. Tulisan jurnalistik tak bisa dipidana karena di Amerika Serikat saja memenjarakan wartawan sudah dihentikan sejak 1768. Tulisan jurnalistik bisa diadili dan jika terbukti keliru media wajib menulis ulang fakta baru itu. Dan semangat mengadili berita tak untuk mematikan medianya. Dewan Pers mengadili untuk meluruskan peran dan kerja jurnalistik para wartawan.

Sebab pers harus tetap bebas untuk mengimbangi kekuasaan yang cenderung korup tadi. Tanpa pers yang bebas, Indonesia akan kembali ke Orde Baru. Tanpa pers yang bebas para maling akan berjaya dan politik dipakai untuk mengelabui orang banyak. Dengan pers yang bebas dan dijamin konstitusi, politik akan kembali kepada etika dan moral, seperti di Jepang.

Dengan sistem politik, tabiat, dan kesadaran masyarakat Jepang seperti itu, para perumung (bayaran atau sukarela) tak laku—selain setiap orang sudah sibuk bekerja di tengah persaingan ketat mendapat penghasilan. Politik tak jadi runtuh karena Amari mundur. Dan Jepang tetap memukau meski menteri ekonomi yang diandalkan tak ada lagi. Orang Jepang tak terbelah antara kubu pembelanya dan pihak penentangnya. Twitter adem ayem dan hidup yang rutin berjalan seperti jadwal Shinkansen.

Tak seperti di Jakarta, hari-hari ini….

Author: Bagja Hidayat

Wartawan majalah Tempo sejak 2001. Mendirikan blog ini pada 2002, karena menulis seperti naik sepeda: tak perlu bakat melainkan latihan yang tekun dan terus menerus.

2 thoughts on “POLITIK, MEDIA, DAN PARA PERUMUNG”

  1. Hai bang. Saya baru mengikuti tulisan-tulisan bang bagja di blog ini dua hari lalu. Salut dan hormat saya pada tulisan-tulisan bang bagja. Sangat nikmat membacanya.

    Selain informatif dan menghibur, saya mengikuti tulisan bang bagja untuk mendapatkan istilah/kata/frasa yang baru – setidaknya bagi saya. Kata-kata itu saya catat dan cari artinya di KBBI. Jadi menambah kosa-kata saya. Kata-kata itu akan saya pakai dalam tulisan-tulisan saya juga.

    Nah, pada artikel ini ada yang ingin saya tanyakan. Sebab saya cari di KBBI tidak diketemukan. Begitu pun ketika saya tanya ke google. Kata “perumung”. Apakah itu sinonim dengan buzzer? Apa arti sesungguhnya kata itu? Saya tidak dapatkan di KBBI.

    Terima kasih.

    Salam

    M. Hidayanto

    1. Wah, terima kasih, mas. Ya, “perumung” tawaran saya untuk padanan “buzzer”. Dari kata “rumung”. Di kamus artinya mengerubungi, mengerumuni. Jadi “perumung” artinya “pengerumun”. Dalam hal “buzzer”, ia pengerumun sebuah isu sehingga isunya membesar. Tapi, agaknya, lebih populer “pendengung” yang setia pada makna asli sebagai “buzzing”. Bisa dipakai keduanya, sebagai variasi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Enjoy this blog? Please spread the word :)