SEKALI PERISTIWA DI RUMAH SAKIT

Twitter
Visit Us
Follow Me
LinkedIn
Share
RSS
Follow by Email

Pemakaian “atas nama” yang acap keliru. Pengaruh bahasa polisi.

DI klinik perbaikan gigi sebuah rumah sakit di Bogor, seorang suster memanggil nama pasien. “Atas nama Tuan Zulfikar,” katanya. Tak ada yang menyahut. Di ruang tunggu hanya ada saya dan seorang laki-laki setengah baya yang menggeleng ketika “atas nama Tuan Zulfikar” disebutkan ulang.

Duduk tepekur sambil membaca “Silence”, novel bagus dari Shūsaku Endō, saya menduga-duga suster itu salah memanggil nama. Saya adalah orang pertama yang tiba di klinik ini, disusul laki-laki setengah tua itu, lalu seorang perempuan muda yang datang hanya menaruh berkas di meja dokter kemudian pergi entah ke mana. Suster itu masuk ke ruangan dokter lagi dan kembali muncul di depan pintu. “Atas nama Tuan Bagja Hidayat.”


Saya tak langsung menyahut. Itu memang nama saya, tapi penyebutan “atas nama” membuat saya ragu apakah panggilan itu untuk saya. “Atas nama” berarti ada orang lain yang mewakili saya. Jangan-jangan laki-laki setengah tua dengan kumis baplang-sangadulang itu yang mendaftar dengan “mengatasnamakan saya”. “Bapak Tuan Bagja Hidayat, bukan?” tanya suster itu. Saya mengangguk, suster itu cemberut.


Di Indonesia, pemakaian predikat untuk nama sering kali kacau. Tak hanya di rumah sakit, para polisi jamak mengucapkan dan menuliskan laporan “kami telah menetapkan tersangka atas nama Pulan bin Fulan”. Pemakaian atas nama dalam kalimat itu membuat objeknya menjadi kabur. Apakah ada orang lain yang dengan suka rela menjadi tersangka kejahatan mewakili Pulan bin Fulan?

Pemakaian “atas nama” yang benar tercantum dalam naskah Proklamasi kemerdekaan yang dikenal oleh seluruh rakyat Indonesia. Dalam naskah itu tertulis “atas nama Bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta”. Artinya, ada dua orang, yakni Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta, yang mewakili bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan atas invasi Jepang dan bangsa-bangsa lain pada 17 Agustus 1945.

Barangkali kisruh itu dimulai dari kekacauan bentukan dan pemakaian kata majemuk. “Rumah sakit” itu bentukan yang aneh. Dua kata ini merujuk pada “rumah tempat orang sakit”, meski bisa juga berarti “rumah yang membuat orang jadi sakit”. Arti kedua tidak salah juga. Saya pernah dibuat sakit oleh rumah sakit karena tak tidur menunggui anak dua tahun yang menangis sepanjang malam karena demam berdarah. Kepala rasanya bertambah sakit ketika melihat tagihan perawatannya selama sepekan.

Bentukan “rumah sakit” merujuk pada pola pembentukan kata dari bahasa Belanda, ziekenhuis (zieken = sakit, huis = rumah). Sebab dalam bahasa Inggris “rumah sakit” disebut “hospital”, yang merujuk pada arti “keramahtamahan”. Sejak awal hospital dipakai sebagai “halte orang sakit dan terluka”, penamaannya bermula dari bahasa Prancis (ospital), yang berakar dari bahasa Latin, hospitis (tamu, hotel). Demikianlah, pasien diperlakukan sebagai tamu di tempat yang diasosiasikan dengan hotel.

Saya tidak tahu apa pengaruh nyata pemakaian “rumah sakit” dan “hospital” pada tingkat kesembuhan pasien. Jangan-jangan orang Inggris dan Prancis lebih cepat sembuh dibanding orang yang dirawat di “rumah sakit” atau sebaliknya. Mungkin perlu survei untuk membuktikan cara kerja bahasa membentuk perspektif dan perilaku penuturnya.

Seperti orang Jepang yang memahami jarak bukan sebagai ruang antara dua titik yang diukur dengan satuan metrik, tapi jangka dua titik yang diukur dengan waktu. Karena itu Jepang terus memproduksi alat transportasi yang kian cepat untuk meringkasnya. Di Jepang umum dikatakan, jarak Tokyo-Shizuoka adalah 60 menit, bukan 200 kilometer, karena memakai Shinkansen.

Barangkali Indonesia perlu memperbaiki bahasanya sebelum mimpi besar membangun peradaban. Saat memikirkan pemakaian “atas nama”, saya berhasil menulis kolom sepanjang ini. Rembetannya sampai pada bentukan-bentukan kisruh kata majemuk, seperti “sepak bola”. Kita menerima saja “sepak bola” sementara kita menyebut “bulu tangkis” untuk badminton, bukan “tangkis bulu” jika merujuk bentukan “sepak bola”.

Kamus bahasa Indonesia menulisnya dengan “sepak bola”, dua kata terpisah, agar sepadan dengan kata majemuk lain semisal “tanggung jawab” atau “air keras”. Masalahnya, nama resmi organisasinya adalah Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia. Begitu juga dengan “bulu tangkis”, organisasi resminya disebut Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia. Kalau kata-kata itu diubah mungkin memang akan jadi kacau dan celaka. Pekan Olahraga Nasional tak akan lagi disebut PON karena “olah raga” ditulis terpisah sehingga singkatannya menjadi PORN.

Kolom ini tak akan berhenti jika terus mengulik kekisruhan bahasa Indonesia, meski berawal dari pemikiran sepele dari sebuah peristiwa di sebuah klinik perbaikan gigi. Mungkin karena bahasa Indonesia masih muda, menjadi bahasa asing bagi penduduk yang bukan Melayu, sehingga harus terus menerus dipelajari dan diperjuangkan perbaikan-perbaikannya.

* Dimuat dalam kolom Bahasa! majalah Tempo edisi 31 Juli 2017.

Author: Bagja Hidayat

Wartawan majalah Tempo sejak 2001. Mendirikan blog ini pada 2002, karena menulis seperti naik sepeda: tak perlu bakat melainkan latihan yang tekun dan terus menerus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Enjoy this blog? Please spread the word :)