Reportase Sebagai Muruah Jurnalisme

Twitter
Visit Us
Follow Me
LinkedIn
Share
RSS
Follow by Email

Reportase adalah tulang punggung jurnalisme. Muruah jurnalisme.

TULISAN di media massa yang enak dibaca biasanya artikel yang lahir dari reportase. Sebaliknya, tulisan yang ruwet biasanya karena ia mengungkai masalah.

Reportase bisa juga menyajikan masalah. Untuk menghidupkannya masalah tersebut “dibumikan” dengan tokoh, sehingga masalah itu menjadi dekat dan hidup di benak pembaca karena masalah jadi memiliki cerita.

Proximity atau kedekatan masalah itulah yang membuat seseorang bersedia meluangkan waktunya membaca apa yang kita tulis. Tanpa proximity artikel akan seperti cerita Lord of The Ring: ia asyik karena bertuturnya kuat menghadirkan dunia antah-berantah yang hanya ada dalam fantasi kita. Artinya, syarat utama tulisan tak ngawang-ngawang seperti itu harus harus bagus cerita dan cara bertuturnya. Selebihnya, urusan Frodo dan Legolas tak bersangkut paut dengan urusan hidup sehari-hari.

“Saat reportase, seorang penulis melakukan tiga hal: melihat, mengamati, menyimpulkan.”

Tiga hal ini pada dasarnya adalah teknik mengumpulkan informasi selengkap mungkin. Senjatanya adalah rasa penasaran dan keinginan bertanya. Seorang wartawan harus selalu membawa serta couriosity dan skeptisisme. Pada apa pun. Ketika dua hal itu mati, ia telah membunuh reportase dan mata publik yang ingin tahu banyak tentang sebuah lanskap atau peristiwa. Pertanyaan tak muncul, jurnalisme tumpul.

Ukuran lengkap adalah jika pertanyaan dalam angle tulisan itu terjawab tuntas. Maka detail harus relevan. Ketika wawancara seorang politikus yang hendak mencalonkan diri jadi Wali Kota, misalnya, profilnya bisa tergambar dari deskripsi detail yang dilaporkan penulis. Jika ia berkoar tentang keberpihakan pada kaum miskin sementara ia memakai Rolex seharga Rp 2 miliar, pembaca bisa menyimpulkan sendiri jenis manusia macam apa politikus ini.

Detail dalam reportase juga sekaligus pembuktian kepada pembaca bahwa penulisnya berada dalam peristiwa itu. Stephen Glass, wartawan muda di New Republic, terbongkar reportase bohongnya karena ia terlalu detail melaporkan sebuah peristiwa khayalan (Hack Heavensalah satu artikelnya bisa dibaca di sini). Ketika pemimpin redaksinya mengecek detail-detail itu, ia tahu Glass hanya mengarang cerita. Dengan kata lain detail adalah verifikasi sekaligus bagi pembaca agar mereka percaya kepada apa yang kita tulis.

Salah satu artikel Stephen Glass di majalah New Republic.

Reportase tak sekadar laporan pandangan mata. Karena ada unsur menyimpulkan, konklusi dalam reportase harus ditopang data dan wawancara. Salah satu sumber data adalah pernyataan dari orang lain yang menjadi narasumber.

Dengan kehadiran narasumber, reportase menjadi hidup karena cerita jadi memiliki tokoh yang berbicara, mungkin menegaskan, atau sekadar memberikan warna pada data yang kita sajikan. Seorang wartawan yang menulis bahwa di pegunungan Alpen udara bisa turun ke -20 derajat Celcius sesungguhnya baru menyampaikan realitas. Realitas ini akan menjadi fakta yang hidup jika ada narasumber yang mengatakan, “Dingin ini telah membuat hipotermia pendaki gunung dari Kalimantan bulan lalu.”

Ada perbedaan antara fakta dan realitas. Fakta pasti realitas, realitas belum tentu fakta. Fakta adalah realitas yang sudah disimpulkan. Suhu -20 derajat itu realitas. Menjadi penyebab hipotermia itu masih realitas. Fakta adalah “suhu -20 derajat telah membuat seorang pendaki meninggal karena hipotermia.”

Reportase juga membuat wartawan media tulis bisa juga unggul dari kamera televisi. Wartawan media tulis punya peluang mengelaborasi fakta lewat detail yang tak bisa ditangkap oleh kamera televisi. Dalam teknik rekonstruksi, wartawan media cetak berpeluang mengombinasikan sebuah peristiwa dari hasil wawancara dengan pengecekan lapangan untuk memperkuat.

Sebab deskripsi yang detail akan memberikan konteks, perspektif, dan membumikan tulisan. Majalah Time pada edisi 28 Oktober 2002 menulis bom Bali tidak dimulai dari hari kejadian, tapi sehari sebelum bom meledak. Dari situ kita menangkap perspektif apa yang terjadi sebelum bom: pacar yang mengantar kekasihnya, hari yang terik, laut yang gemuruh, burung yang bersiul.

Ledakan bom dijadikan klimaks pertama, ketegangan mencari pelaku teror menjadi suspens kedua. Dari deskripsi ini penulisnya berpeluang memberikan konteks Bali dan bom. Cara ini pasti tak didapatkan oleh kamera televisi, kecuali jika wartawannya membuat dokumenter atau mendapat rekaman dari seorang turis yang mengabadikan Kuta sehari sebelum ledakan. Tapi pada pekan pertama setelah bom itu, semua televisi nyaris menayangkan gambar seragam: situasi Kuta yang khaos, mayat bergelimpangan, polisi berseliweran…

Apa yang dilakukan Time hanya bisa didapat dengan reportase dan wawancara. Narasumber dipilih yang relevan untuk mendeskripsikan Bali sebelum ledakan bom sebagai pengantar pada kejadian horor itu. Seperti sebuah foto, reportase yang hidup memadukan situasi, kondisi, dan manusia yang berkelimun di dalamnya. Selain membumikan objek, kehadiran manusia memberi ruh pada ruang yang dideskripsikan. Dengan kehadiran manusia, deskripsi hidup karena ada yang bergerak di dalamnya.

Karena itu sebuah laporan perjalanan yang hidup tak hanya memuat kesan-kesan penulisnya terhadap apa yang ia lihat. Fakta dan realitas yang ia tulis perlu didukung oleh data dan wawancara. Apalagi di zaman ketika orang bisa dengan ringan merekayasa berita dan fakta, wawancara menjadi tulang punggung sekaligus bukti kehadiran wartawan di dalam lanskap yang ia gambarkan. Pembaca tahu deskripsi itu bukan berdasarkan riset atau pernyataan orang lain. Pembaca tahu penulisnya hadir di sana, membubuhkan kesan terhadap apa yang ia lihat, dan bercakap dengan manusia lain.

Dalam jurnalisme naratif, laporan perjalanan bisa memungkinkan disusun dengan teknik seperti menyajikan cerita pendek. Biasanya cerita pendek mengandung unsur-unsur seperti ini: narasi, deskripsi, kutipan, humor, opini. Narasi memerlukan kehadiran. Kutipan lahir dari wawancara dengan orang lain. Humor muncul karena penulis menyukai detail serta selalu ragu dan penasaran. Opini adalah kesan terhadap realitas yang ia dengar, lihat, dan rasakan dengan ditopang data.

“Klimaks dibangun dengan ketegangan cerita yang dialami para tokohnya dan ending disiapkan untuk memberikan kejutan. Karena jurnalisme menyajikan fakta, teknik cerita pendek ini tak akan bisa dilakukan jika penulisnya tak melakukan reportase.”

Contoh laporan perjalanan yang ditulis dengan gaya cerita pendek ada dalam rubrik “Perjalanan” majalah Tempo edisi 4 September 2006 berjudul “Catatan Pulau Buru”. Klik ini atau klik gambar di bawah ini.

Catatan Pulau Buru.

Siapa orang lain yang layak menjadi narasumber yang relevan untuk reportase? Sila klik artikel di tautan ini.

Author: Bagja Hidayat

Wartawan majalah Tempo sejak 2001. Mendirikan blog ini pada 2002, karena menulis seperti naik sepeda: tak perlu bakat melainkan latihan yang tekun dan terus menerus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Enjoy this blog? Please spread the word :)