WAWANCARA MENGAWETKAN SEJARAH

Twitter
Visit Us
Follow Me
LinkedIn
Share
RSS
Follow by Email

Jurnalisme adalah sejarah yang ditulis hari ini.
~ Amarzan Loebis

DALAM jurnalistik ada lima jenis narasumber yang bisa diwawancarai sebagai sanad informasi sebuah peristiwa: 1) pelaku, 2) mereka yang melihat, 3) dia yang paling tahu, 4) mereka yang berwenang, 5) pakar.

Urutan ini tak boleh tertukar. Jenis-jenis narasumber ini yang akan menentukan nilai sebuah berita. Jika informan sebuah peristiwa hanya “ia yang berwenang”, seperti polisi, apalagi juru bicara polisi, gradasi informasinya tak lebih kuat dibanding jika narasumbernya mereka yang melihat langsung peristiwa itu, apatah lagi mereka yang terlibat. Jika berita mutilasi sumber utamanya seorang kriminolog yang sedang mengajar ketika peristiwa itu terjadi, beritanya pasti tak menyajikan fakta, melainkan analisis-analisis yang belum tentu tepat.

Wartawan yang baik akan menggali fakta, bukan mendengar analisis narasumber atau bahkan adu argumen dengannya ketika wawancara. Analisis narasumber hanya diperlukan wartawan untuk konteks dan perspektif dalam menulis sebuah peristiwa. Karena itu wartawan yang baik pandai membuat pertanyaan yang ia kembangkan dari jawaban narasumber.

Ada anjuran wartawan tak tampak pintar di depan narasumber, agar tak mengintimidasinya. Itulah kenapa Larry King[1] hanya memakai kemeja lengan dilipat, tampak tak paham tapi bertanya terus dengan menohok. Beda dengan di televisi kita. Pewawancara tampak adu keren dengan narasumber dan gestur ingin terlihat pintar. Mungkin karena nama pembuat kemeja akan dipampangkan di layar televisi, sebagai sponsor.

Larry King di CNN

Dalam wawancara, kagum kepada narasumber bisa mematikan sikap kritis, tapi terlalu kritis juga bisa terjerumus pada nyinyir. Maka sebaik-baiknya wawancara adalah diskusi. Mendudukkan narasumber pada tempatnya tanpa mengurangi hak wartawan bertanya.

Sebab, kekaguman dan ketakjuban pada narasumber bisa menumpulkan daya kritis wartawan ketika wawancara. Padahal dua modal wartawan: skeptis dan curious. Jika hilang dua sifat ini, jurnalisme menjadi cacat. Sebaliknya, kebencian juga bisa menjerumuskan wartawan pada kenyinyiran yang menjengkelkan.

Jadi patokan wartawan itu saja: selalu ragu dan penasaran atas informasi yang ia dengar dan lihat. Dua senjata ini juga memungkinkan sebuah wawancara bisa lengkap, bahkan mengungkap. Jika tak kritis dan skeptis, karena kagum atau benci kepada narasumber itu, hal-hal mendasar dalam wawancara bisa terabaikan. Misalnya, wartawan lupa bertanya harga sepatu setelah narasumbernya menyebut merek.

Tanpa keraguan dan penasaran, seorang wartawan bisa memesan spageti ketika meliput restoran Prancis. Untung bukan sop buntut. Tanpa kritis dan skeptis, seorang wartawan mati angin saat wawancara. Padahal aib seorang wartawan adalah tak bisa bertanya di hadapan narasumber.

Tulisan bagus ditopang bahan yang lengkap. Bahan lengkap ditentukan saat wawancara. Wawancara yang baik jika wartawannya kritis dan skeptis. Soalnya, bahan lengkap saja belum tentu menghasilkan tulisan bagus, apatah lagi bahannya tak lengkap.

Produk jurnalistik adalah produk kreatif, bukan repetitif. Sebab ia melibatkan banyak hal yang sulit diukur. Tapi ilmu pengetahuan mencoba terus mendekati hal-hal yang tak bisa diukur itu sehingga jurnalisme menjadi kian ilmiah dan bisa dipelajari teknik-tekniknya oleh siapa saja. Tulisan-tulisan di blog ini salah satu upaya untuk itu, meskipun hanya berdasarkan pengalaman, bukan berangkat dari teori yang ruwet-ruwet.

“Ada empat proses dalam jurnalisme: reporting, interviewing, writing, editing.”

  • Sengaja tak di-Indonesiakan karena interviewing tak sekadar tanya-jawab atau wawancara. Interview itu bertukar pikiran. Tukar pendapat dalam interview tak berarti wartawan mendominasi narasumber. Tugas dia mendengarkan dan menggali informasi. Interview mungkin lebih tepat dipadankan dengan perbincangan, dengan pokok tertentu, sehingga obrolan mengalir karena derajat wartawan dan narasumber berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah.

    Berdasarkan jenisnya, wawancara ada tiga macam: testimonial (kesaksian), simposium (banyak narasumber untuk satu masalah), dan profil. Wawancara simposium acap dilakukan Kompas ketika mengupas suatu masalah. Setelah semua narasumber dikutip pendapatnya, reporter lalu menulis, “Demikianlah benang merah yang berhasil dikumpulkan Kompas….”

    Di kalangan wartawan ada istilah “door stop interview” atau wawancara cegat-pintu. Wartawan biasanya berkumpul di kantor-kantor pemerintah menunggu para pejabat selesai rapat membahas sebuah masalah. Begitu mereka keluar, wartawan mencegatnya di pintu ruangan. Ada juga yang menengarai istilah itu muncul mengacu pada wartawan yang mengganjal pintu mobil ketika mengejar narasumber untuk wawancara. Narasumber yang enggan (atau pura-pura enggan agar terkesan jual mahal) diwawancarai wartawan terbirit masuk mobil. Wartawan mengejarnya dan mengganjal pintu mobil dengan sepatunya sambil menodongkan mikropon meminta pernyataan.

    Dalam pembicaraan ini, wawancara lebih fokus pada one-on-one interview. Demi sopan-santun dan penggalian bahan, ada kaidah yang menjadi larangan tak tertulis selama wawancara one-on-one: melihat notes, menengok jam, menanyakan status jawaban on/off selama narasumber tak menegaskannya. Dalam berita status informasi terbagi dalam tiga jenis: on the record, off the record, background.

    – On the record: informasi dan nama narasumbernya boleh disiarkan.
    – Off the record: informasi dan narasumbernya hanya untuk pengetahuan wartawan, tak boleh disiarkan.
    – Background: informasi boleh disiarkan, sebagai konteks dan latar belakang, tanpa dikutip narasumbernya.

    Dalam etika jurnalistik, wartawan terikat pada perjanjian mengenai status informasi dengan narasumber. Namun, sebaiknya, perjanjian datang dari narasumber. Wartawan tak perlu menanyakannya saat wawancara.

    Agar obrolan mengalir, wartawan harus memastikan narasumber tak menganggapnya sebagai ancaman. Orang senang diwawancarai Larry King di CNN karena ia bertanya remeh temeh tapi perlu jawaban yang mumpuni. Cara bertanya, cara duduk, dan gaya King membuat narasumbernya terpancing terus untuk memberi jawaban yang panjang, alih-alih menghindar karena terteror oleh kamera.

    Untuk sampai pada maqom Larry King, perlu pengalaman dan latihan terus menerus. Riset dan membuat outline pertanyaan menjadi penting agar wawancara tak melantur. Karena wawancara di rubrik Wawancara juga artikel, maka ia tetap memerlukan angle. Tanpa angle, wawancara akan melantur dan merangkum hal ihwal dengan informasi serba sedikit. Tanpa angle wawancara dalam bentuk tanya-jawab akan seperti kumpulkan pertanyaan dan sehimpun jawaban yang tak fokus.

    Karena itu wartawan harus siap dengan bahan sebelum wawancara. Riset tentang narasumber dan pokok persoalan yang akan ditanyakan menjadi mutlak. Narasumber yang pintar akan segera membaca apakah pewawancaranya memahami persoalan atau sekadar kulitnya belaka.

    Memang ada Oriana Fallaci (1929-2006), wartawan Italia yang terkenal karena wawancara-wawancaranya dengan hampir semua pemimpin dunia di era Perang Dunia II dan zaman perang dingin. Fallaci tak segan beradu pendapat dan menyerang kebijakan para presiden itu dengan menohok. Pada 1979, misalnya, ia menyebut tiran saat mewawancara pemimpin Iran Ayatollah Khomeini. Mula-mula ia memakai jilbab. Di tengah wawancara ia mencopot kain penutup kepala itu dan mengatakan bahwa kain itu yang membatasi hak-hak perempuan Iran. “Perempuan Iran tak bisa berenang karena kain ini,” katanya. “Omong-omong apa Anda pernah mencoba berenang memakai kerudung?”

    Presiden Amerika Serikat Henry Kissinger menyesal memberikan wawancara soal perang Vietnam pada 1972. Dalam pertanyaannya, Fallaci menyebut perang tersebut tak ada gunanya bagi Amerika dan dunia. Ia juga menyebut kebijakan Kissinger seperti koboi yang menuntun kereta dengan ia menunggangi kuda di depannya. Mubazir dan percuma. Tapi itu Oriana Fallaci. Ia menyerang, ia menohok, toh wawancara-wawancara yang dibukukan dalam Interview with History disebut sebagai buku terbaik wawancara dalam jurnalistik yang pernah ada.

    Penulis Mesir, Nagouib Mahfoudz, mengatakan bahwa orang pintar terlihat dari pertanyaannya, sementara orang bijak terlihat dari jawabannya. Narasumber akan menghargai pewawancara jika ia mendapat pertanyaan-pertanyaan yang sederhana tapi menohok. Karena itu narasumber ini akan terdorong untuk menjelaskan lebih rinci. Sebaliknya, pertanyaan bodoh memancing narasumber mendominasi bahkan menyembunyikan informasi. Karena itu sebaik-baiknya pertanyaan adalah yang memancing jawaban. Dan wartawan kreatif menciptakan pertanyaan dari jawaban tersebut.

    Contoh wawancara yang mengalir dan pewawancara tak terintimidasi oleh narasumber yang terkesan meremehkan pertanyaan ada di majalah Tempo edisi 17 Juni 1989.

    Agar wartawan tak mati kutu, wawancara sebaiknya dilakukan oleh lebih dari satu orang. Apalagi untuk wawancara mendalam seorang tokoh terkenal. Ini cara untuk menyiasati jika satu pewawancara kehabisan pertanyaan. Dalam wawancara langsung di televisi, pewawancara dibekali alat dengar jarak jauh yang dikendalikan produser dari ruang kendali. Pertanyaan-pertanyaan dipasok dari sana. Dengan begini, percakapan akan mengalir, wartawan atau pewawancara selalu siap dengan pertanyaan dan narasumber juga tak kikuk karena pertanyaan konyol dan kosong.

    Selemah-lemahnya informan adalah anonim. Bagi wartawan, memakai sumber anonim dibolehkan, tapi lebih baik dihindari. Jika terpaksa, ia hanya dikutip faktanya. Sumber anonim tak bisa dikutip analisisnya atau penilaiannya atas sebuah peristiwa. Narasumber utama masih bisa dikutip penilaiannya atas sebuah fakta sepanjang relevan dan berhubungan dengan kejadian.

    Dalam jurnalistik wartawan diizinkan menyembunyikan narasumber. Tapi narasumber jenis ini merupakan narasumber yang lemah. Dan menyembunyikan identitas narasumber bukan inisiatif wartawan. Tugas wartawan adalah menemukan fakta dengan narasumber yang jelas dan kredibel. Nilai sebuah berita terukur dari informasi dan narasumbernya yang jelas.

    Identitas narasumber disembunyikan jika ia meminta, dengan alasan yang kuat. Misalnya, jika informasi yang ia miliki dibuka, nyawanya terancam. Dan alasan tersebut telah diverifikasi. Wartawan setuju memuatnya sebagai narasumber anonim jika ia telah mengecek ancaman tersebut. Ia harus berterus terang kepada editornya tentang identitas narasumber tersebut. Sebab kerja jurnalistik adalah kerja tim. Tim harus tahu identitas setiap narasumber untuk menakar kredibilitas atas fakta yang ia sampaikan.

    Dan identitas tersebut tak permanen. Jika di kemudian hari wartawan menemukan fakta sebaliknya, identitas tersebut harus dibuka agar publik tahu bahwa ia telah berbohong dan untuk menyelamatkan “fakta” yang telanjur disiarkan. Ketika bersepakat dengan narasumber tersebut, wartawan juga harus memberitahu perjanjian ini. Cara ini sekaligus untuk memberi peringatan kepada narasumber tersebut tentang kerja jurnalistik yang menempatkan kepercayaan publik sebagai basis utama dan tulang punggungnya.

    Sebelum memakai fakta dari sumber anonim itu pun, seorang wartawan harus mengecek kepada sumber lain untuk memastikan informasi tersebut. Jika informasi itu hanya satu orang yang memegang, verifikasi juga tak bisa berhenti. Wartawan harus mengecek kesesuaian cerita dengan fakta lain yang diutarakan informan tersebut.

    Sebab ini satu-satunya metode menjadi wartawan yang baik: selalu meragukan informasi yang ia terima, selalu penasaran dengan koneksi fakta-fakta di hadapannya. Wartawan adalah sejenis profesi yang terlatih untuk tak gampang percaya. Karena itu profesi ini tak bagus bagi kesehatan mental, seperti dituturkan penulis dalam artikel ini.

    Catatan:
    [1] Larry King, pewawancara dalam  Larry King Live di CNN pada 1985-2010.

Author: Bagja Hidayat

Wartawan majalah Tempo sejak 2001. Mendirikan blog ini pada 2002, karena menulis seperti naik sepeda: tak perlu bakat melainkan latihan yang tekun dan terus menerus.

2 thoughts on “WAWANCARA MENGAWETKAN SEJARAH”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Enjoy this blog? Please spread the word :)