Hoax bisa datang dari mana saja, termasuk dari pejabat negara.
FOTO-foto rekayasa tragedi kemanusiaan Rohingya di Rakhine, di pesisir barat Myanmar, menegaskan bahwa manusia cenderung percaya kepada berita yang mereka suka. Sejak 2012, banyak foto pembantaian orang Rohingya yang disebarkan puluhan ribu orang dan belakangan terbukti palsu.
Atas nama mengetuk kepedulian khalayak, para penyebar foto pembantaian itu—juga foto dan video rekayasa pelbagai peristiwa—itu percaya pada keterangan di foto yang dibuat entah siapa karena mereka suka dengan informasinya. Orang pun terprovokasi lalu menghujat sana-sini, perang kata berjela-jela.
Mantan Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring, misalnya, menyebarkan sebuah foto tumpang tindih mayat dengan keterangan pembantaian Rohingya di akun Twitternya. Padahal, gambar puluhan mayat itu adalah foto korban bentrokan Tak Bai di Thailand selatan pada 2004 yang bisa kita temukan di Google.
Tifatul, seperti pengakuannya kepada wartawan, mendapatkan foto tersebut dari seorang politikus di DPR. Dua orang elite ini percaya dan menyebarkan foto rekayasa itu untuk mendulang simpati bahwa “umat Islam sedang dianiaya”. Keduanya percaya karena demikianlah fakta yang mereka suka sebagai dasar mengetuk kepedulian orang lain atas tragedi itu.
“Kepercayaan purba kepada berita yang kita suka makin menemukan aktualisasinya lewat media sosial. Maka, kini perekayasa berita tak lagi penguasa dalam sebuah operasi propaganda sandi yudha, tapi kita semua.”
Pada dasarnya kita adalah mahluk narsistik. Kita senang pendapat kita didengarkan, senang dipuji, senang menjadi objek perhatian orang lain, senang disebut penyebar hal-hal yang menggugah. Maka media sosial—Whatsapp, Facebook, Twitter—menjadi wadah memuaskan hasrat berbagi itu. Menurut penelitian Universitas Berlin status Facebook semacam “camilan sosial” yang tak mengenyangkan tapi membuat ketagihan.
Kita menulis status, mengunggah foto dan video, berharap apa yang kita posting itu menyebar dan mengundang komentar orang lain, sehingga kita merasa terus terhubung dengan orang lain, kita tetap berada dalam percaturan. Dan kita nyaman melempar semua hal ke gelanggang itu karena identitas kita terlindungi. Akun-akun di media sosial adalah topeng kita di dunia maya.
Pengikut dan teman-teman saya hanya tahu dan mencerna status saya dari akun bernama Bagja Hidayat. Mereka tak tahu situasi, konteks, suasana hati dan ekspresi macam apa yang terjadi pada saya ketika melemparkan status tersebut. Setidaknya tak ada yang tahu bagaimana mimik saya ketika menuliskannya.
Yang terbaca di sana tinggal seonggok teks. Kita membaca dan mencerna teks-teks tersebut dengan emosi dan pengetahuan kita akan informasi dalam kalimat-kalimat orang lain. Maka ada orang yang tanpa beban memaki orang lain, mengatainya bodoh dan bleguk, seolah tak pernah belajar sopan santun yang paling dasar.
Dengan sifat narsistik dan sembunyi dalam topeng itulah kita menjelma jamaah gatal jempol. Kita ingin segera membagi berita yang kita suka kepada orang lain, berkomentar untuk meneguhkan kepercayaan itu, sekaligus melegitimasi sikap dan jalan pikiran kita atas informasi tersebut. Dan kepercayaan tak berurusan dengan tingkat kecerdasan. Kepercayaan, seperti dalam iman, tak membutuhkan olah pikiran. Toh, kita takut pada hantu meski belum pernah bertemu dengannya.
Maka Tifatul Sembiring menyebarkan foto rekayasa Rohingya tanpa mengeceknya. Kali lain seorang terpelajar menyebarkan berita-opini dari web tak kredibel hanya karena ia suka dengan informasinya. Kepercayaan pada sebuah berita tumbuh dari preferensi politik, sikap, dan nilai-nilai yang mereka anut hingga mereka tak peduli sumber informasi untuk meneguhkan kepercayaan itu.
Mereka akan berteriak “hoax” untuk menyebut berita yang mereka tak suka. Di saat bersamaan mereka juga menyebarkan berita lain dari sumber yang sama karena mereka suka pada informasinya. Pada akhirnya kita seperti Donald Trump yang kita kecam: menyebut semua berita yang mengkritiknya sebagai “hoax” dan “fake news”, kecuali berita-berita yang diproduksinya sendiri.
Kait-mengait itu membuat berita rekayasa makin subur di zaman ketika seharusnya kita kian cerdas menerima informasi. Membanjirnya berita semestinya membuat kita punya banyak resources sebelum mempercayai fakta satu versi. Kita seperti itik yang tercebur ke kolam oli: kepandaian berenang tak terpakai untuk memilah cacing dan sampah dalam lautan informasi yang likat.
Celakanya, media sosial dan Internet bekerja berdasarkan algoritma. Jika sebuah berita dipercaya banyak orang, berita serupa akan muncul menguatkan lewat tagar atau kata kunci. Menurut Don Tapscott dan Anthony Williams dalam Macrowikinomics, sekarang orang tak perlu mencari berita karena berita-berita itu akan menemukan pembaca yang menyukainya.
Jika ada banyak orang percaya bumi ini datar, ada orang di luar sana yang sigap menguatkan kepercayaan itu dengan membuat pelbagai artikel untuk mendukung iman tersebut yang akan menemukan pembacanya dengan tagar dan kata kunci yang sambung-menyambung. Celakanya, ini menguntungkan secara ekonomi bagi pembuatnya. Di Internet, jumlah klik bisa dikonversi jadi duit.
Mungkin akan segera lahir slogan di zaman pasca-kebenaran ini: aku merekayasa berita maka aku ada.
Terima kasih Jo buat tulisannya, sekali lagi izin utk men-share kan tulisan anda ke WAG sy yg lain.
silakan