Hoax terbesar sepanjang sejarah dunia modern datang dari Amerika Serikat.
9/11 tak lagi diingat sekadar sebuah hari ketika Amerika berduka karena serangan mematikan dari udara. 9/11 juga akan kita ingat sebagai hari dimulainya Amerika menciptakan hoax dan fake news terbesar dan paling tak lucu sepanjang sejarah manusia.
Sembilan jam setelah serangan ke menara kembar World Trade Center yang menewaskan 2.996 orang pada 11 September 2001 itu, seperti kita lihat dalam film dokumenter Fahrenheit 9/11, Presiden Bush berpidato bahwa dunia akan berbeda setelah serangan ini. Dan ia mewujudkan janjinya itu dengan beringas.
Bush dan para pembantunya gencar menuduh Presiden Irak Saddam Hussein menyembunyikan dan mengembangkan senjata pemusnah massal. Para administrator Bush berusaha meyakinkan dunia bahwa senjata itu akan membuat perdamaian dunia terkoyak karena akan memicu perang hebat. Nyatanya, yang terjadi adalah sebaliknya: Bush itulah yang membuat dunia tak nyaman lagi.
Mereka tak hirau dengan temuan PBB yang menyimpulkan tak ada bukti Irak sedang mengembangkan senjata jenis itu. Direktur Energi Atom PBB Mohammed El-Baradei yang berpidato di PBB pada 27 Januari 2003 dengan tegas menyatakan klaim Bush keliru, namun tak didengar.
Dua bulan kemudian, pada 19 Maret 2003, tentara Amerika menggempur Irak setelah sebelumnya melumat Afganistan atas nama perburuan Usama bin Ladin, pemimpin Al Qaidah—teman lama Presiden Bush dalam bisnis minyak—yang diduga menjadi otak serangan 9/11 itu.
Intelijen Amerika menggalang tentara sipil Irak menjadi paramiliter untuk memerangi tentara pemberontak yang berkonflik karena perbedaan suku. Pemberontakan pun muncul sehingga perang terjadi melibatkan banyak kubu. Belum lagi perlawanan-perlawanan dari tentara Al Qaidah. Bentrok sesama ini kemudian membuat organisasi itu pecah dan melahirkan ISIS, yang meluaskan arena perang segi-banyak itu ke Suriah.
Dunia benar-benar berbeda seperti dijanjikan Bush. Dan 13 tahun kemudian laporan PBB terbukti benar. Perang yang menghabiskan Rp 45.000 triliun itu, menewaskan puluhan ribu tentara, dan membuat jutaan orang Irak mengungsi, hanya untuk hoax terbesar sepanjang sejarah. Mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair mengatakan PBB benar dan ia meminta maaf telah menyerbu Irak untuk klaim yang sudah terbukti salah, meskipun tak menyesal menggulingkan Saddam.

Michael Moore juga benar ketika mendokumentasikan invasi Amerika di Irak lewat Fahrenheit 9/11. Ia mereportase dan mengumpulkan bukti-bukti bahwa alasan perang Irak sesungguhnya adalah invasi minyak di Timur Tengah. Amerika diramalkan kehabisan energi fosil untuk mengongkosi hidup boros mereka. Satu-satunya cara adalah mengalirkan minyak dari sumur-sumur di Irak dan negara sekitarnya melalui Asia, melewati Afganistan, lalu ke Pasifik.
Amerika perlu sebuah alasan kuat untuk mewujudkan cita-cita itu. War on terror adalah cara efektif. Mereka menciptakan hantu teroris sebagai alasan masuk akal memburunya ke mana pun mereka menunjuk. Namanya hantu, teroris itu tak terlihat. Keberadaan mereka terlihat justru karena kehadiran para intel dan tentara Amerika di sebuah negara. War on terror betul-betul perwujudan impian Amerika menjadi polisi dunia.
Dan semua itu adalah hoax.
Lalu apa setelahnya? Tak ada. Tak ada yang berteriak soal pengadilan kejahatan perang. Tak ada yang menuntut Bush dan Blair diajukan ke mahkamah HAM internasional. Semua damai semua ayem seolah tak terjadi kebohongan besar. Padahal, lihatlah, dampak “war on terror” ala Bush dan Amerika itu.
Tentara Amerika sudah meninggalkan Irak yang porak-poranda sejak 2011. Tapi tak ada Marshall Plan untuk memulihkan keadaan seperti sebelum mereka datang, seperti mereka lakukan untuk Jepang atau Jerman. Perang Timur Tengah makin meluas dan para teroris tak lagi terkendali menyebar ke seluruh dunia dengan doktrin dan ideologi yang mengerikan.
Semua negara sibuk dengan ikut-ikutan memerangi teror. Para teroris mengoyak Indonesia. Penduduk sipil bergairah mati di medan perang Suriah—perang sesama muslim yang berebut kekuasaan dan ladang minyak. ISIS mempertontonkan kebrutalan yang melampaui batas kemanusiaan di zaman modern. Sentimen atas nama agama kian meruncing dan jadi bahan bakar ampuh para provokator.
Ekor 9/11 belum selesai dan agaknya akan kian panjang setelah 16 tahun. Terutama bagaimana menciptakan hoax dengan ongkos US$ 3 triliun untuk membuat dunia jadi berbeda.