MORAL MURAL

Twitter
Visit Us
Follow Me
LinkedIn
Share
RSS
Follow by Email

Moral di balik mural. Mural dalam moral.

Teman-teman Kreavi meminta saya menjelaskan soal pameran mural di kantor Tempo di acara Kumpul Kreavi dengan tema Moral Mural. Permintaannya lumayan berat karena saya harus menjelaskan latar belakang dan makna di balik pameran itu. Saya bukan penelaah seni, jadi ini yang bisa saya ceritakan:

Sudah dua kali Tempo menyelenggarakan pameran mural. Tembok-tembok dan tiang penyangga di kantor Tempo di Palmerah, yang mulai ditempati oleh seluruh karyawan dan divisi pada 2015, yang tak dicat dan dibiarkan berwarna kelabu-semen, jadi kanvas para seniman.

Ide pameran pertama datang dari Yansen Kamto, dedengkot Kibar, yang punya ide memakai tembok itu jadi mural satu tahun lalu. Segera saja ide segar begini disambar dan disetujui bos-bos di Tempo. Yansen lalu meminta sejumlah kreator Kreavi membuat mural dengan tema Pahlawan karena bertepatan dengan terbitnya edisi Pahlawan pada 10 November 2016.


Para kreator Kreavi, yang umumnya anak-anak muda generasi millenials, menafsirkan tema pahlawan dan kepahlawanan, dengan gambar, dengan grafis, dan tipografi. Kantor Tempo sejak lantai 1 hingga 5 pun meriah dengan gambar aneka rupa.

Tema kedua adalah Hari Kartini pada April 2017. Sejumlah seniman diundang menggambar tembok kantor Tempo dengan kurator Bambang Budjono, seorang penelaah seni yang tekun. Tak hanya mural, seniman Hardiman dan istrinya membuat seni instalasi menafsirkan semangat R.A Kartini berupa Kartini yang sedang tidur dikelilingi cuplikan surat-suratnya dan manekin yang menggantung menggambarkan semangat putri Bupati Jepara itu yang terbang melampaui zamannya. Manekin bersayap itu tergantung di pusat kendali berita.

Semua pameran ini terbuka untuk umum. Siapa pun boleh melihatnya. Para penonton diizinkan melihat mural yang terpasang di tembok-tembok di antara kursi dan meja redaksi, berbaur dengan para editor yang sedang bekerja. Tentu saja mereka juga boleh bertegur sapa dengan para wartawan itu tentang proses sebuah berita hingga diterbitkan.

Tujuannya memang seperti itu. Tempo ingin mengembangkan “jurnalisme terbuka”. Publik tak hanya jadi konsumen pembaca tapi juga terlibat dalam produksi berita, setidaknya paham bagaimana sebuah berita diproduksi, syukur-syukur menjadi penyuplai informasi.

Di Tempo selalu ditekankan bahwa wartawan di jantung newsroom adalah mereka yang sesungguhnya tak tahu apa-apa. Ini sikap untuk mendorong dan menghidupkan terus senjata para wartawan: curious dan skeptic. Sebab tanpa dua senjata ini jurnalisme akan mati. Dengan menganggap diri tak tahu apa-apa, pertanyaan akan tumbuh, keingintahuan akan terbit. Wartawan yang menganggap diri tahu segala hal mudah terjebak pada asumsi yang membuat mereka jadi malas menggali fakta.

Pameran seni memperingati Hari Kartini bertajuk “Para Perempuan Kartini: Gambar, Cetak, Digital, Mural, Istalasi” di gedung Tempo Media Grup, Jalan Palmerah Barat, Jakarta, Rabu, 5 April 2017. [TEMPO/Subekti; SB2017040506]

Interaksi produsen dan konsumen adalah hal sangat penting dalam tali temali produksi. Apalagi produksi informasi. Pasal pertama kewajiban dalam kerja wartawan adalah memenuhi apa yang dibutuhkan dan ingin diketahui publik. Interaksi atau engagement pun menjadi soal utama dalam praktik manajemen. Sebab kantor berita akan ditinggalkan pembacanya jika tak bisa memenuhi apa yang ingin mereka tahu. Karena majikan wartawan bukan pemimpin redaksi dan pemegang saham perusahaan, melainkan publik.

Pameran ini salah satu tujuannya untuk itu. Publik bisa mendatangi kantor Tempo, bahkan bisa menumpang bekerja karena akses Internet disediakan secara bebas, sembari melihat pameran gambar. Tiap hari Selasa bahkan ada seduh kopi gratis single origin pelbagai varietas kopi dari seluruh daerah Nusantara dengan pelbagai kudapan dan diskusi atau pemutaran film tentang kopi.

Pameran seni memperingati Hari Kartini bertajuk “Para Perempuan Kartini: Gambar, Cetak, Digital, Mural, Istalasi” di gedung Tempo Media Grup, Jalan Palmerah Barat, Jakarta, Rabu, 5 April 2017. [TEMPO/Subekti; SB2017040504]

Segala keseruan itu juga berkait dengan tujuan lain yakni menjadikan kantor yang baru ini menjadi tempat kerja yang bikin betah. Di kota besar semacam Jakarta, kita lebih banyak menghabiskan waktu di jalan dan kantor. Rumah praktis hanya untuk tidur. Kantor pun jadi semacam rumah kedua. Maka ia harus nyaman. Ia bahkan harus dibuat tak seperti kantor.

Diskusi dan pemutaran film tentang kopi yang digelaro leh @NgopidiKantor

Apalagi ini zaman millenials. Generasi millenial (lahir tahun 1980-1990) konon tak suka hal-hal formal, tak suka diperintah, kreatif, mandiri. Maka perkantoran yang didesain seperti kantor tahun 80—dengan cubicle berupa sekat-sekat kompartemen yang kaku dan mengungkung juga lukisan-lukisan Hindia Molek–akan mengintimidasi generasi ini.

Dalam konsep zaman sekarang, sumber daya manusia sudah tak lagi disebut human resources melainkan human capital. Manusia juga dianggap sebagai bagian dari modal, yang tumbuh dan hidup. Dalam kuliah-kuliah manajemen, human capital menekankan pada kelenturan manajemen, mengedepankan dialog, menghilangkan hierarki dan kekakuan organisasi, untuk mendorong kreativitas.

Karena itu kantor mesti membebaskan. Tempo sedang berbenah menjadi media digital yang memerlukan kreativitas menciptakan produk yang sesuai perkembangan zaman. Jika kantornya intimidatif, kreativitas juga akan mati. Salah satu faktor pendukungnya adalah menggeser pola pikir budaya perusahaan (corporate culture) menjadi start-up culture. Dalam corporate culture 90 persen adalah planning, hanya 10 persen doing. Di zaman millenials yang mengedepankan start-up culture, porsi itu dibalik.

Maka penghuni kantor harus dibebaskan agar bisa 90 persen doing dengan kreativitas. Itulah kenapa kantor Facebook dan Google, dua raksasa digital, menjadikan kantor mereka seperti taman bermain. Orang bebas melakukan aktivitas karena yang terpenting adalah eksekusi ide dan strategi.

Diskusi Ruang Tengah bertajuk “Kritik vs Delik: Ancaman Baru Kebebasan Berpendapat pada 14 September 2017.

Dengan mural yang akan berubah sesuai tema, intimidasi kantor konvensional itu mudah-mudahan bisa dihilangkan. Tempo merencanakan menggelar pameran secara rutin yang disesuaikan dengan tema edisi-edisi khusus. Bonusnya tembok kantor jadi berwarna dan ada gambar yang bisa dilihat tak sekadar warna semen yang sepia atau cat modern yang kaku.

Bebas berkreasi juga salah satu nilai di Tempo yang ingin dijaga dan terus dirawat. Dunia wartawan sesungguhnya tak mengenal hierarki. Semua orang adalah reporter yang kerja utamanya adalah liputan. Pemimpin redaksi, redaktur eksekutif, redaktur pelaksana, hanya jenjang jabatan untuk memudahkan pembagian kerja dan koordinasi. Mereka tetap wajib reportase, menjalin lobi, meluaskan hubungan, dan meliput peristiwa untuk diberitakan.

Dan jurnalisme juga adalah produk kreatif, bukan repetitif seperti membuat mesin atau pabrik semen. Tanpa lingkungan yang hidup dan membebaskan, kreativitas bisa tak berkembang. Maka begitulah moral di balik mural itu. Tempo dengan kantor baru yang dilengkapi lift ini ingin membuka interaksi dengan publik dalam memproduksi informasi.

Karena itu selain mural ada juga pameran foto di lantai lima, di aula yang jadi tempat diskusi, tempat menyeduh kopi, atau kongkow sastra, pembacaan puisi. Semuanya gratis. Siapa pun boleh datang dan menonton.

Author: Bagja Hidayat

Wartawan majalah Tempo sejak 2001. Mendirikan blog ini pada 2002, karena menulis seperti naik sepeda: tak perlu bakat melainkan latihan yang tekun dan terus menerus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Enjoy this blog? Please spread the word :)